REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Seorang pejabat menyatakan Mesir tidak berniat untuk menyatakan negara dalam kondisi darurat meskipun 72 orang pendukung mantan Presiden Muhammad Mursi tewas dalam sebuah protes di Kairo selama akhir pekan lalu.
Penasehat media untuk presiden sementara, Ahmed Maslamani, mengatakan presiden berjanji memberi kekuasaan lebih kepada perdana menteri untuk menciptakan negara sipil yang meniadakan kebutuhan kondisi darurat. Pada Senin kemarin (29/7), sekolompok organisasi nonpemerintah Mesir menyerukan menteri dalam negeri mundur, karena adanya pembunuhan.
Kepala kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, menekan pemerintah Mesir untuk mundur dari konfrontasi dengan Ikhwanul Muslimin. Ashton merupakan utusan luar negeri pertama yang mengunjungi Mesir sejak kekerasan mematikan pada Sabtu pekan lalu.
Dalam laporan Al-Arabiya, Ashton bertemu Jenderal Abdel Fattah al-Sisi, kepala militer yang berada di balik penggulingan presiden Muhammad Mursi. Dia juga berbicara dengan wakil presiden interim, Muhammad al-Baradei, dan Menteri Luar Negeri, Nabil Fahmy. Tidak ada rincian mengenai pembicaraan tersebut.
Sebelumnya, Ashton menekankan agar proses transisi di Mesir dilakukan dengan inklusif yakni melibatkan semua kelompok termasuk Ikhwanul Muslimin. Baradei mengatakan kepada Ashton bahwa pemerintahan baru negara itu melakukan semua yang bisa untuk mencapai jalan keluar damai dari krisis.