REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM/RAMALLAH--srael dan Palestina masih jauh dari posisi untuk menyepakati apa pun. Kondisi itu diungkapkan pera pejabat kedua belah pihak, Rabu (31/7), satu hari setelah perundingan damai pertama kali dimulai lagi sejak tiga tahunan terakhir ini.
Kepala juru runding Israel, Tzipi Livni, mengatakan pihak-pihak "perlu membangun kepercayaan". Momen pertemuan Israel dan Palestina di Washington ia sebut sebagai awal yang membesarkan hati.
Livni memperdebatkan tuntutan Palestina untuk terlebih dahulu menyepakati tapal-tapal batas negara merdeka. "Tujuannya adalah untuk mengakhiri konflik," kata Livni kepada Radio Israel. "Untuk itu, tidak bisa dicapai hanya dengan membuat garis batas."
Yasser Abed Rabbo yang dekat dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas memperkirakan ada "kesulitan-kesulitan sangat besar" tak terelakkan dalam perundingan.
Perundingan itu dimulai kembali setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry melancarkan diplomasi secara terus-menerus.
Abed Rabbo, yang berbicara kepada radio Voice of Palestine, menyebut pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki sebagai kesulitan besar yang dihadapi. Ia mengatakan melanjutkan pembangunan di wilayah tersebut akan membunuh perundingan.
Rabbo menyinggung laporan oleh media Israel bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah membujuk sekutu-sekutunya yang berhaluan kanan-jauh untuk mendukung proses perundingan dengan menjanjikan tetap akan mengizinkan perluasan permukiman.
Kerry mengatakan para juru rundingn akan bertemu kembali pada bulan Agustus dalam upaya untuk mencapai kesepakatan dalam waktu sembilan bulan soal "status akhir"..
Perundingan yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2010 mengalami kegagalan karena pembangunan permukiman di Tepi Barat yang dilakukan Israel.
Tepi Barat merupakan wilayah yang ingin dijadikan Palestina sebagai bagian dari wilayah negaranya, yang juga akan termasuk Jalur Gaza dan Yerusalem Timur.
Semua wilayah itu direbut oleh Israel pada tahun 1967. Israel mencaplok Yerusalem Timur melalui aksi sepihak yang tidak diakui masyarakat internasional.