Inilah Etika Beriktikaf di Pengujung Ramadhan

Red: Heri Ruslan

Kamis 01 Aug 2013 12:04 WIB

iktikaf Foto: Republika iktikaf

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Iktikaf, meminjam pernyataan salah seorang tabiin terkemuka, Syibuddin az-Zuhri, merupakan salah satu amalah sunah yang beranjak dilupakan umat Islam.

Padahal, kegiatan berdiam diri di masjid dengan disertai ibadah zikir, membaca Alquran, dan shalat sunah itu sering dilakukan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Bahkan, frekuensi iktikaf tersebut meningkat pada 10 hari terakhir Ramadhan. Rasul tak pernah pula menyeru dan mengajak keluarganya untuk beriktikaf.

Entah karena satu atau lain hal, peminatnya kian surut. Meskipun demikian, upaya penggalakannya kembali diadakan di sejumlah masjid di kota-kota besar, termasuk Jakarta. Ini patut diapresiasi. Seperti apakah etika beriktikaf?

Syekh Ahmad Azzauman menguraikan hal ihwal iktikaf di esainya yang berjudul “Al I’tikaf Hikmatuhu wa Ahkamuhu”, yang memuat beberapa adab terkait iktikaf. Hal pertama yang ia garis bawahi ialah soal penempatan niat. Niat iktikaf menjadi unsur utama yang mendasari sah atau tidaknya iktikaf. Ini sebagaimana hadis dari Umar bin Khatab perihal urgensi niat di setiap tindakan.

Unsur penting iktikaf selanjutnya ialah lokasi beriktikaf. Pelaksanaan iktikaf hanya boleh dilaksanakan di masjid-masjid utama. Artinya, masjid-masjid aktif yang difungsikan untuk shalat jamaah lima waktu atau shalat Jumat. Ini seperti pernyataan Nafi’ bahwa tempat iktikaf satu-satunya Rasulullah ialah masjid.

Lantas, bagaimana dengan iktikaf bagi perempuan? Bagi perempuan yang telah memperoleh izin, baik dari keluarga maupun suaminya, diperbolehkan beriktikaf. Lokasinya tak mesti masjid dengan kriteria seperti di atas. Tiap-tiap masjid bisa dipakai sebagai iktikaf. Ini berarti bukan mushala dalam rumah. Iktikaf tidak diperbolehkan dilaksanakan di rumah. Ini berlaku di Mazhab Syafi’i, seperti dikutip Al Baghafi dalam Syarh As Sunnah dan Nawawi di Al Majmu.

Agar lebih berkualitas, iktikaf tidak hanya dimaknai dengan berdiam diri. Akan tetapi, seyogianya iktikaf tersebut diisi dan disertai dengan kegiatan positif atau menjaga dari perkara-perkara negatif.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni mengemukakan bahwa untuk mengisi agar iktikaf berbobot ialah menyempurnakannya dengan bacaan Alquran, zikir, dan shalat-shalat sunah.

Ia juga menyarankan agar selama beriktikaf menahan diri dari perkataan dan perbuataan tak pantas. Tidak menggunjing, berdebat kusir, mengumpat, atau mencaci maki. Meski tidak membatalkan iktikafnya, hal itu dihukumi makruh dan mengurangi muatan iktikafnya.

Waktu

Terkait waktu, Syekh Ahmad menjelaskan hari-hari paling utama ialah 10 hari terakhir Ramadhan. Ini seperti yang ditegaskan riwayat Aisyah. Penekanan waktu pada 10 hari terakhir karena malam Lailatur Qadar diprediksikan jatuh di sela hari-hari tersebut.

Sedangkan mengenai waktunya, Ibnu Rusyd di Bidayat Al Mujtahid menjelaskan, iktikaf boleh dilangsungkan di semua waktu, baik siang maupun malam. Tidak ada batas minimal waktu pelaksanaannya. Walau sebentar, sudah dikategorikan iktikaf.

Kecuali, jika kasusnya ialah nazar. Artinya, waktu pelaksanaannya bisa terikat jika yang bersangkutan bernazar. Misal, ia nazar beriktikaf pada pagi hari. Maka, itu wajib dilakukan pada waktu yang telah ia pilih tersebut. Konon, Abdullah bin Umar pernah bernazar malam hari di Masjidil Haram. Rasul pun memerintahkan ia menepati nazarnya itu.

Khusus terkait iktikaf Ramadhan, kata Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Al Majmu, pelaksanaannya ada pada 10 hari terakhir. Persisnya, sebelum matahari terbenam di hari ke-20 atau malam 21 Ramadhan. Iktikaf tersebut berjalan hingga terbenamnya matahari pada hari terakhir Ramadhan.

Hal yang penting digarisbawahi dari iktikaf, kata Syekh Ahmad, hendaknya siapa pun yang ingin beriktikaf mengedepankan prioritas. Hukum iktikaf ialah sunah.

Aktivitas sunah tersebut tidak boleh menggugurkan perkara wajib. Misalnya, seorang kepala keluarga bila yang bersangkutan hendak beriktikaf untuk waktu lama, ia tidak boleh menelantarkan kewajiban menafkahi anak dan istrinya di rumah. “Utamakan tanggung jawab yang wajib untuk menafkahi keluarga,” tulisnya.

Terpopuler