NEW DEHLI -- Mahkamah Agung India meminta pemerintah negara tersebut memperbaiki kondisi perempuan-perempuan yang terlantar di ‘Kota Janda’ Vrindavan.
Jumlah penduduk kota Vrindravan di Uttar Pradesh, India, hampir mencapai 60 ribu. Diperkirakan sekitar 20 ribu di antaranya adalah janda.
Salah satunya adalah Rami Sominder, yang berusia 70 tahun.
Setiap fajar, Sominder bangun, menghadiri doa bersama di ashram, yaitu tempat bertapa, atau sebuah tempat penampungan. Kemudian ia makan seadanya dan menghabiskan sisa harinya di kuil.
Begitulah rutinitasnya selama delapan tahun terakhir ini setelah ditelantarkan oleh keluarganya sepeninggal suaminya.
“Ada masalah di rumah – saya tidak bisa tinggal di sana lagi. Karena itu saya datang ke Vrindavan,” katanya. “Saya belum bisa menerima masalah saya, tapi saya tidak punya pilihan dan tidak punya tujuan lain.”
Ribuan orang mengalami nasib yang kurang lebih sama dengan Sominder. Mereka lari dari stigma sosial setelah suami mereka meninggal.
Dhrupathi Jha, yang berusia 65 tahun mengatakan ia pun mengalami dipermalukan secara sosial karena statusnya sebagai seorang janda.
Usia mereka bervariasi mulai dari yang baru menikah hingga yang renta. Hampir semua berbaju putih. Mereka biasanya tinggal di kabin-kabin kecil atau di rumah-rumah amal.
Pemerintah India telah menugaskan sebuah panel untuk mengumpulkan data mengenai kondisi sosio-ekonomi janda-janda di Uttar Pradesh.
Janda seringkali dijauhi di banyak keluarga Hindu konservatif, karena mereka dianggap membawa nasib buruk. Bahkan, terkadang mereka disalahkan atas kematian suami mereka.
Ankat Vas, seorang sukarelawan yang telah tinggal di Vrindavan selama beberapa tahun, menjelaskan ribuan perempuan dibuang di Vrindavan oleh anak mereka sendiri, karena dianggap membebani.
“Kita harus meningkatkan kesadaran tentang para janda. Kalau tidak, mereka akan pergi ke berbagai tempat untuk mengemis,” katanya.
Sebagian janda tersebut memang datang ke Vrindravan untuk mengabdikan sisa hidup mereka melayani Dewa Krishna, yang dipercaya lahir di kota tersebut.
Namun ada juga yang terpaksa mengemis dan menyanyikan lagu-lagu pemujaan untuk mendapatkan makan atau uang receh.
Narasimha Dasa, yang bekerja untuk sebuah organisasi sosial yang peduli nasib para janda, memperkirakan akan makin banyak janda yang datang ke kota tersebut.
Raj Kumar Babloo, yang mengawasi beberapa penampungan di kota tersebut, menyatakan sebagian janda tersebut belajar keterampilan seperti membuat dupa atau karangan bunga, untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka.
“Ini adalah tempat suci, dan banyak dari perempuan ini menginginkan akhir hidup yang bermartabat, karena mereka telah mengalami cobaan tertentu,” katanya. “Namun jumlah mereka meningkat tiap tahun.”