Ahad 11 Aug 2013 22:13 WIB

Jimly: Demokrasi Harus Beretika

Rep: rusdy nurdiansyah/ Red: Heri Ruslan
Jimly Ashiddiqie
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Jimly Ashiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie mengatakan, semangat Idul Fitri dapat dijadikan momentum bagi bangsa ini dalam menjalankan roda pemerintahan dan demokrasi dengan cara-cara yang arif dan beretika.

''Bangsa ini sudah terlalu rumit dengan permasalahan, salah satu persoalanya adalah masalah etika kehidupan berbangsa dan bernegara,'' ujar Jimly yang berharap kedepannya institusi penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat bekerja dengan netral, tidak ragu-ragu, arif dan beretika.

''Kita harapkan begitu. Jangan sampai ada demoralisasi. Semua anggota DKPP selalu saya ingatkan agar selalu berpikir dengan kearifan karena kita punya tanggung jawab. Yang kita harus selamatkan adalah institusi bukan person,'' tutur Jimly, saat acara open house dengan media di kediamannya di Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sabtu (10/8).

''Juga agar institusi penyelenggara pemilu itu selamat, jauh dari demoralisasi baiknya jangan ragu-ragu memutuskan. Mengurus negara itu memang tak boleh ragu-ragu melulu,'' tegas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Jimly mengungkapkan sebagian besar masalah yang terjadi dari penyelenggara pemilu terutama KPU di daerah karena adanya keberpihakan atau sikap tidak netral. Beberapa keberpihakan kasus yang dilakukan penyelenggara pemilu di daerah biasanya terjadi karena kaitannya degan pelaksanaan pilkada.

''Biasanya di pilkada itu tanpa sadar mereka dimanfaatkan. Budaya birokrasi di daerah memang banyak dipolitisasi sehingga juga berpengaruh kepada politisasi penyelenggara pemilu,'' terang Jimly yang menambahkan, meskipun DKPP berusaha keras tidak main pecat karena menyelamatkan nama baik institusi. Disisi lain DKPP tidak boleh membiarkan jika ada person yang memenjarakan citra penyelenggara pemilu menjadi lebih baik.

''Sebagian kan kita peringatan, tapi kalau misalnya berpihak, tidak independen terpaksa kita pecat. Tapi jangan lihat jumlahnya. Total sekarang sudah 95 orang seluruh Indonesia penyelenggara pemilu yang kita pecat. Pemecatan terkait pelanggaran kode etik berat,'' ungkapnya.

Selain masalah kode etik, jelas Jimly pihaknya juga melihat beberapa kasus memiliki indikasi pidana. Namun DKPP untuk beberapa kasus tidak ikut campur terkait indikasi pidana karena proses pidana bisa diteruskan secara independen oleh pihak yang berwenang. DKPP, katanya sudah melakukan komunikasi dengan pihak Polri dan Kejaksaan Agung dimana kalau terdapat indikasi pidana oleh penyelenggara pemilu yang besar maka DKPP tidak akan tinggal diam.

''Kita berharap apa yang dilakukan DKPP dengan memecat anggota KPU di berbagai daerah yang bermasalah akan menimbulkan efek jera kepada para anggota penyelenggara pemilu tersebut. Kita akan bangun integritas elektoral sistem yang akan membuat pelaksanaan pemilu lebih baik lagi,'' jelas Jimly.

Tidak hanya penyelenggara pemilu, lanjutnya, perlu juga dipikirkan masalah etika yang berurusan dengan aparatur penyelengara negara. ''Tampaknya tidak hanya hukum yang harus ditegakkan di negeri ini, tapi juga harus ditegakkan masalah etika. Kalau perlu dibentuk Mahkamah Etika bagi aparatur penyelenggara negara yang melanggar sumpah jabatan,'' pungkas Jimly.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement