REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pemerintah Mesir yang didukung militer mengizinkan pasukan keamanan menggunakan peluru tajam untuk menghadapi demonstrasi pendukung presiden terguling Mesir, Muhammad Mursi, selanjutnya.
Hal ini membuat kekhawatiran pembantaian kembali terjadi di Mesir setelah Ikhwanul Muslimin menyerukan demonstrasi lanjutan Jumat (16/8) ini. Pada pembubaran dua kamp demonstrasi pendukung Mursi, pasukan keamanan dilaporkan menembaki demonstran dengan peluru tajam. Namun, sehari setelah tentara Mesir dan polisi 'membunuh' ratusan orang, pemerintah justru berjanji menggunakan semua kekuatan untuk menghadapi segala organisasi massa.
Pada Kamis pagi, pendukung Mursi membakar dua gedung pemerintahan lokal di Giza, kota di sepanjang sungai Nil dari Kairo yang merupakan tempat bagi banyak Piramida. Dalam laporan Washingtonpost, Jumat (16/8), pendukung Mursi dan militer menyerukan kembali ke jalan, sehingga hanya ada sedikit harapan untuk segera mengakhiri krisis Mesir.
Krisis Mesir mulai terjadi sejak 30 Juni ketika jutaan orang turun ke jalan untuk menggulingkan presiden yang terpilih secara demokratis untuk pertama kalinya. Ikhwanul Muslimin yang mendukung Mursi, menyerukan demonstrasi lanjutan setelah negara dinyatakan dalam keadaan darurat oleh pemerintahan sementara.
Sementara, Kementrian Kesehatan Mesir menyatakan 578 korban tewas dan lebih dari 4.200 orang terluka dalam bentrokan Rabu kemarin. Kekerasan terjadi ketika pasukan keamanan menggunakan bulldozer, gas airmata, dan senjata tembak untuk membersihkan dua kamp demonstrasi pro-Mursi. Rabu lalu disebut-sebut sebagai hari paling mematikan di Mesir sejak revolusi 2011 yang menumbangkan Husni Mubarak.