REPUBLIKA.CO.ID,Kumandang proklamasi boleh jadi bergema pada 17 Agustus 1945, namun hingga 1949 peringatan ke merdekaan berlangsung tanpa gegap gempita. Rakyat Indonesia pada masa itu hanya bisa merayakan kemerdekaan secara sembunyi-sembunyi. Belanda dengan tentara kerajaannya yang disebut Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) masih berusaha menancapkan kuasanya atas Indonesia. Republik muda ini pun harus melanjutkan perjuangan agar kemerdekaan yang baru seumur jagung tidak dirampas kembali oleh penjajah manapun.
Baru pada 17 Agustus 1950, peringatan proklamasi kemerdekaan untuk pertama kalinya dilakukan di Istana Merdeka. Presiden Soekarno, yang baru kembali ke Jakarta akhir Desember 1949 setelah hijrah dari Yogyakarta, pun menggelar peringatan proklamasi di Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950. Perayaan dihadiri rakyat yang memenuhi Lapangan Ikada (kini Monas).
Sejak saat itu hingga 1966, setiap ulang tahun kemerdekaan RI, Bung Karno berpidato selama dua sampai tiga jam di hadapan massa yang tak hanya warga Jakarta. Orator ulung itu pun membuat massa bersorak-sorai dan bertepuk tangan meski sinar matahari tajam menusuk kulit.
Presiden kedua RI Soeharto tak meneruskan tradisi berpidato panjang lebar di hadapan massa rakyat. Pidato tahunan dilakukan di gedung DPR, sedangkan perayaan kemerdekaan di Istana Merdeka tanpa pidato berjamjam. Kebiasaan itu berlangsung hingga sekarang.
Ide untuk membentuk pasukan pe ngibar bendera pusaka (Paskibraka) setiap perayaan kemerdekaan pun sudah tercuat sejak 1946. Lagi-lagi kondisi bangsa yang serbamepet belum mampu mengumpulkan pemudapemudi pelajar untuk dilatih menjadi pengibar bendera.
Paskibraka yang berasal dari ga bungan pemuda seluruh nusantara pun baru dapat terwujud dua dasawarsa kemudian. Kelompok pengibar bendera lahir saat Mayor Husein Mutahar menjabat sebagai Dirjen Urusan Pandu dan Pemuda Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan berbagai keterbatasan saat itu, ia mengumpulkan para anggota Pandu (sebutan Pramuka di masa itu) serta pasukan pengawal presiden demi alasan kepraktisan. Setahun kemudian pada perayaan 17 Agustus 1968, barulah petugas pengibar bendera pusaka adalah para pemuda utusan dari berbagai daerah, kendati belum mencakup seluruh provinsi. Mereka disebut Pasukan Pengerek Bendera dan baru berganti sebutan menjadi Paskibraka pada 1972.
Tahun ini, perayaan kemerdekaan ke-68, kita kembali merayakannya dalam suasana setelah lebaran. Sepanjang perjalanan bangsa ini tercatat telah beberapa kali perayaan kemerdekaan bertepatan dengan bulan suci bagi umat Islam ini.
Sebut saja proklamasi kemerdekaan 1 Agustus 1945 yang jatuh pada Jumat 8 Ramadhan atau 1364 Hijriah. Perayaan kemerdekaan pada 1946 dan 1947 juga masih jatuh pada bulan Ramadhan. Baru pada HUT Kemerdekaan 1977 kembali jatuh pada bulan Ramadhan, yang juga terjadi pada 1978 dan 1979.
Enam puluh enam tahun bisa jadi masa yang terlalu sebentar untuk membangun sebuah bangsa yang kokoh. Namun, bisa pula terasa lama jika kita terlalu perlahan berjalan sehingga ter tinggal dari langkah-langkah cepat di sekeliling kita. Apa pun yang kita miliki saat ini, yang jelas kita memiliki satu bangsa besar untuk dibenahi dan terus diperbaiki. Dirgahayu Negeriku!