REPUBLIKA.CO.ID,Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan, kabar pun menyebar ke seluruh dunia. Yang antara lain berjasa dalam penyebaran itu adalah Adam Malik, yang saat itu memimpin Domei Indonesia, yang belakangan berubah menjadi LKBN Antara. Dari tempat persembunyiannya di Bungur Besar, Adam Malik menelepon Asa Bafagih dan mendiktekan bunyi teks proklamasi. Adam Malik lantas meminta berita itu diteruskan kepada Pangulu Lubis untuk disiarkan, dengan mem- by pass prosedur izin Hodohan (sensor Jepang), sebagaimana biasanya.
Pangulu Lubis pun menyelipkan berita proklamasi itu di antara berita-berita yang telah disetujui Hodohan, yang kemudian disiarkan melalui kawat (morce cast) oleh teknisi Indonesia, Markonis Wua, diawasi Markonis Soegiarin. Berita sampai ke San Fransisco, Amerika Serikat, maupun Australia, yang serta-merta membuat geger pembesar Jepang. Para pegawai Jepang di Domei pun dimintai pertanggungjawaban dan diminta segera membuat berita bantahan: bahwa berita proklamasi itu salah.
Yang ditugaskan membuat bantahan adalah Sjamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi dibantu seorang Jepang bernama Tanabe. Tapi, dua orang Indonesia itu, karena ditentang teman-temannya, tidak bersedia membuat berita bantahan. Tana be sendiri lah yang kemudian membuatnya, dan disiarkan Markonis Wau melalui kawat. Berita proklamasi kemerdekaan itu kemudian diteruskan ke Hoso Kyoku (kini RRI), yang saat itu dikuasai Jepang. Caranya hampir mirip, yaitu mengundarakannya dengan cara selundupan.
Saat itu, Jumat petang, beberapa jam setelah proklamasi, seseorang dari Domei masuk ke RRI dengan melompati tembok belakang —karena jalan depan dijaga ketat oleh Kempetai. Lalu memberikan secarik kertas dari Adam Malik kepada penyiar Jusuf Ronodipuro. Di kertas itu, Adam Malik menulis, “Harap berita terlampir disiarkan.”
Lampiran berita itu tak lain naskah proklamasi. Pukul 19.00, Jusuf Ronodipuro pun membacakannya di studio siaran luar negeri. Berita proklamasi kian meluas, dan menjadi buah bibir. Di Surabaya, berita kemerdekaan dari Domei Jakarta diterima Markonis Jacub dan diberikan kepada Raden Mas Bintarti dan wartawan Soetomo (Bung Tomo). Kabar juga diteruskan kepada surat kabar Soeara Asia. Namun, ketika hendak disiarkan, datang berita bantahan yang dibuat Tanabe.
Redaksi Soeara Asia sempat bimbang. Tapi, setelah mengecek ke Jakarta melalui telepon, mereka memutuskan tetap menurunkan berita tersebut, bahkan membuat selebaran-selebaran berita proklamasi serta menempelkannya di depan kantor Soeara Asia.
Merasa sudah merdeka, orang-orang Indonesia di Domei Surabaya menguasai peralatan untuk memantau berita, serta menyiarkan buletin Siaran Kilat tanpa mencantumkan nama Domei. Domei Surabaya merupakan cabang pertama yang melepaskan diri dari Domei pusat. Di Semarang, berita proklamasi dari Domei Jakarta diteruskan kepada penguasa tertinggi Indonesia di sana, Mr Wongsonegoro, yang saat itu menjabat Fuku Shuchookan (Wakil Residen Semarang). Berita itu dibacakan Wongsonegoro dalam sidang pleno dan mendapat tanggapan meriah, lalu disebarluaskan kepada masyarakat.
Di Bandung, berita proklamasi sampai melalui “morse cast”. Tapi, wartawan dan markonis Domei Bandung yang nasionalis terjegal saat akan menyebarkannya. Jepang melarangnya karena berita dikirim dari Jakarta tanpa izin Kepala Barisan Propaganda Jepang. Tapi, berita proklamasi tetap sampai ke meja redaksi surat kabar dan radio Jepang Bandung, Hoso Kyoku, Harian Tjahaja, dan Soeara Merdeka.
Peristiwa serupa terjadi di Yogyakarta maupun di daerah-daerah lainnya. Antara sempat diganti Jepang dengan nama Yashima (Semesta) pada 29 Mei 1942. Tapi, nama itu hanya bertahan tiga bulan, selanjutnya berganti nama menjadi Domei Indonesia. Domei bertahan hingga 3 September 1945, dan sejak itu berganti nama kembali menjadi Antara