REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO -- Kalangan liberal-sekuler-kiri, yang menjadi oposisi di Mesir, adalah orang-orang yang punya klaim besar terhadap demokrasi. Tapi, ketika klaim itu dibuktikan di arena demokrasi seperti pemilu dan referendum, mereka mendapati kenyataan sebagai minoritas dan pecundang belaka. Tokoh liberal-sekuler seperti Muhammad Elbaradei hanya mampu tampil ke tampuk kekuasaan dengan menumpang kekuatan antidemokrasi. Dengan bantuan lars dan moncong senapan.
Di sebalik klaim besarnya terhadap demokrasi, para tokoh oposisi Mesir justru tidak memperlihatkan watak sebagai demokrat. Bahkan, untuk bersikap sportif mengakui kekalahan dalam pemilu dan referendum, pun, mereka tak sanggup. Ketika kalah, mereka terus-menerus meronta dengan mendestabilisasi pemerintahan yang sah dan terpilih secara demokratis. Diajak bergabung dalam pemerintahan, menolak. Diajak berdialog, menolak.
Kalah dalam dalam referendum dan pemilu, tokoh-tokoh oposisi yang kalah dalam pemilu dan referendum, berusaha keras mendapat legitimasi dengan mengumpulkan tanda tangan, untuk menggulingkan Mursi. Menyebut jumlah 22 juta tanda tangan yang berhasil mereka kumpulkan sudah melebihi suara yang memilih Presiden Muhammad Mursi dalam pemilu, kalangan liberal-sekuler kembali turun ke jalan, mengatasnamakan rakyat, dan mengundang militer turun tangan.
Kolumnis Inggris, Jonathan Steele, menyebut sambutan para tokoh oposisi terhadap penggulingan Presiden Muhammad Mursi oleh militer, memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang picik, naïf, dan putus asa. Sebab, Mursi merupakan presiden yang sah. Mursi dipilih lewat proses paling demokratis sepanjang sejarah Mesir. Mursi dipilih secara langsung oleh rakyat, dan proses pemilunya pun diakui dunia sebagai pemilu yang bebas dan fair.
Jonathan menegaskan Presiden Mursi bukanlah sosok tanpa kesalahan. Dia me nyebut daftar tuduhan kepadanya cu kup panjang dan rinci. Dan pelanggaran terberat Mursi terjadi pada November 2012 lalu, ketika mengeluarkan dekrit yang mem perbesar kekuasaannya. Tapi, kata Jo nathan, meski Mursi sempat menga takan siap mati untuk mempertahankan dekrit itu, Mursi kemudian mencabut dekrit tersebut setelah terjadinya protes. “Dia (Mursi) menunjukkan kemauan berkompromi... Mursi telah mengundang mereka (oposisi) untuk ikut dalam pembentukan pemerintahan persatuan nasio nal, serta mempercepat pelaksanaan pe milu parlemen, tapi mereka (oposisi) me nolaknya,” tulis Jonathan Steele dalam kolomnya yang bertajuk Egypt’s Coup: A Ruinous Intervention, yang dimuat harian terkemuka Inggris, The Guardian, pada 4 Juli, sehari setelah penggulingan Mursi. Karena penolakan kalangan oposisi itulah, menurut Jonathan, maka pemerintahan pun akhirnya didominasi oleh Ikhwanul Muslimin.
Jonathan juga menegaskan bahwa bukan sang presiden pula yang patut disalahkan atas persoalan ekonomi di Mesir, yang membuat lapangan kerja tidak tersedia bagi puluhan ribu lulusan perguruan tinggi setiap tahun, maupun kepada generasi yang lebih tua yang kehilangan pekerjaan. Mursi, tulisnya, telah mematuhi rencana IMF untuk mengakhiri subsidi pangan dan utilitas yang bakal menghasilkan lebih banyak penghematan.
Namun, kalangan oposisi justru terus berteriak-teriak demi kekuasaan, sehingga ekonomi terus dilanda gonjang-ganjing. Provokasi dan demonstrasi yang terus dilancarkan kalangan oposisi pula yang membuat sektor pariwisata tak mampu banyak menolong perekonomian, karena turis mana yang mau datang bila situasinya terus menerus dalam kekacauan?
Membebankan semua tanggung jawab persoalan Mesir dua tahun terakhir ke pundak Mursi, dinilai Jonathan merupakan sesuatu yang absurd. Mahkamah Konstitusi lah, kata dia, yang justru membuat kekisruhan dengan membubarkan majelis rendah parlemen Mesir.