REPUBLIKA.CO.ID, Pekan-pekan terakhir menjelang pecahnya pembantaian di Rabba al Adawiya, alun-alun tersebut diberitakan menjadi tempat berbagai penyakit aneh oleh media lokal.
Kantor berita milik pemerintah melaporkan, aksi duduk ribuan pendukung Presiden Muhammad Mursi tersebut dilaporkan penuh dengan penyakit karena kebersihannya yang kurang.
Tidak hanya itu, media pun menulis terdapat fatwa untuk mengijinkan warga yang belum menikah untuk berhubungan seksual demi mendukung jihad. Mereka pun menulisnya dengan jihad seksual. Ada juga pemberitaan tentang pesawat tanpa awak yang mencurigakan melayang di atas kamp para demonstran seakan memberi perlindungan.
Aljazeera menulis, penyakit kudis tidak pernah terjadi. Ungkapan jihad seksual ternyata hanya sebuah pertanyaan di laman facebook Ikhwanul Muslimin yang berkembang menjadi rumor. Sementara, drone yang terbang merupakan pesawat pembawa kamera untuk mengambil gambar unjukrasa.
Tuduhan dan pemberitaan tersebut adalah indikasi yang kuat di media sosial, outlet pribadi, dan stasiun radio milik pemerintah, saluran televisi, dan koran sejak protes nasional meletus pada 30 Juni.
Sesaat sebelum kudeta Muhammad Mursi, media pemerintah negara mulai mengubah nama elit politik yang berkuasa. Mantan politisi pro Mursi cepat menjadi "teroris". Sebagian saluran publik mulai menjalani kampanye untuk mengubah citra publik Ikhwanul Muslimin dan cabang politiknya, Partai Kebebasan dan Keadilan, sebagai musuh negara.
Media Mesir cepat mencap Ikhwanul Muslimin sebagai "teroris" dengan penciptaan narasi sendiri. Media lokal pun mengembalikan IM kembali ke setengah abad penindasan di bawah penguasa.
Sementara, melalui media sosial dan juru bicara, bekas partai yang berkuasa tersebut menganggap dirinya sekelompok korban, mendukung presiden terpilih secara demokratis dan menentang kudeta militer yang tidak sah.
Menurut HA Hellyer, seorang analis yang berbasis di Kairo di Brookings Institute, media Mesir tak banyak memberitakan aksi penembakan militer kecuali untuk menyebutnya sebagai melawan teroris.
Hellyer mengatakan, "Tidak inisiatif untuk akuntabilitas atau penyelidikan [atas penembakan] karena liputan media."
Ahmed Tourk, seorang karyawan sebuah saluran kesehatan milik negara, menggambarkan, iklim politik dalam markas televisi pemerintah seperti yang dituduhkan sangat politis dalam mendukung rezim saat ini. "Sebagian besar media pemerintah benar-benar bertentangan Rabaa," katanya tentang protes pro-Mursi kepada Aljazeera.
Menurut Tourk, penyiar negara dipaksa untuk tetap pada narasi yang jelas karena bias anti-Morsi di antara beberapa wartawan dan tekanan dari pejabat pemerintah. "Beberapa produsen merasa buruk tentang apa yang terjadi di Rabaa, tetapi karena saluran, mereka hanya menyiarkan satu pendapat," katanya.