REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pelaksanaan pemilu 2014, situasi politik di Indonesia semakin bermasalah. Karena semua aktor dan elite politik dinilai sibuk berpolitik di belakang kamera.
"Politik kita bermasalah ketika hanya berdasarkan citra. Sebentar-sebantar dekat dengan kamera," kata Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Bony Hargens, dalam diskusi tentang kepemimpinan di Jakarta, Ahad (18/8).
Di tengah semakin memanasnya bursa calon presiden dan wakil presiden, Bony mengatakan, tidak ada pemimpin yang muncul dengan ide perubahan. Semuanya sibuk menebarkan pencitraan dan hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya di permukaan. Tetapi tidak berani mengajukan gagasan dan konsep untuk membawa perubahan yang nyata bagi Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, pengamat pemilu Jeirry Sumampow menambahkan, sulit menemukan pemimpin dengan jiwa nasionalis di antara politik belakang kamera. Apalagi, kontestasi politik Indonesia saat ini telah dikuasai oleh media.
Calon-calon presiden yang sudah bermunculan saat ini, menurutnya belum ada yang mengemukakan komitmen untuk menjaga kemajemukan.
"Komitmen capres bisa diukur seberapa besar ia konsisten menjaga kemajemukan. Karena menjaga kemajemukan adalah menjaga Indonesia," ujarnya.
Karena itu, Jeirry menilai sebagai kekuatan sipil masyarakat mau tidak mau harus jeli. Memilih pemimpin di antara sedikit pilihan yang didominasi pencitraan. Dengan mendorong calon pemimpin yang ada untuk menyampaikan ide konkrit untuk membangun bangsa.
Misalnya upaya mengembangkan sektor ekonomi, pertanian, budaya secara lengkap dan jelas. Serta komitmen untuk menjaga keberagaman di tengah masyarakat Indonesia.