REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Untuk melindungi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Buruh Migrant untuk membuat penampungan di beberapa Negara.
Di antaranya di Hongkong dan Taiwan. Penampungan ini, menjadi tempat sementara TKI yang bermasalah. "Setelah ada Perda tentang Perlindungan TKI, kami bekerja sama dengan LSK membuat rumah singgah untuk melindungi TKI yang bermasalah," ujar Kepala Disnakertrans Jabar, Hening Widiatmoko kepada wartawan, Senin (19/8).
Menurut Hening, di rumah singgah ini semua TKI yang bermasalah akan memperoleh penampungan. Saat ini, di negara-negara tersebut tidak ada rumah singgah. Jadi, saat ada TKI yang memiliki masalah bingung harus ke mana.
"Makanya, untuk menghindari hal itu kami bekerja sama dengan buruh migrant agar TKI yang bermasalah memiliki tempat lebih aman," katanya.
Hening mengatakan, Provinsi Jabar memang sudah membuat Perda Perlindungan terhadap tenaga kerja luar negeri. Karena, di beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Barat dan juga Jawa Timur sudah lebih dulu memiliki payung hukum yang bisa melindungi dan melayani TKI-nya.
Menurut Hening, selain mendirikan penampungan, Disnakertran Jabar pun membina alumni TKI dan organisasinya. Jadi, TKI tersebut diharapkan tidak kembali lagi bekerja ke luar negeri.
Kalau tidak ada pembinaan, banyak TKI yang berpikir untuk bekerja kembali ke luar negeri karena menilai di tanah air tidak ada pekerjaan.
"Setelah kembali ke tanah air, kami menggiring mereka untuk berusaha atau bekerja di sini. Misalnya, kalau budaya kerjanya di Jepang bagus, penguasaaan bahasa bagus, itu kami salurkan ke perusahaan Jepang yang ada di sini," katanya.
Dikatakan Hening, saat ini memang ada moratorium dari Arab Saudi pada Indonesia agar tidak mengirimkan TKI. Namun, kenyataannya banyak TKI yang beralih ke negara lain. Misalnya, ke Malaysia dan Hongkong.
Oleh Sebab itu, Disnakertrans Jabar terus menyosialisasikan pada masyarakat agar pergi ke luar negeri dengan dibekali keterampilan. Agar, tidak menimbulkan masalah ke depannya. Minimal, TKI harusnya menempuh pelatihan sekitar 200 jam.
"Karena mencegah orang untuk pergi keluar negeri itu susah. Makanya kami siapkan mereka agar siap mental, siap budaya dan siap dokumen. Kalau mereka sudah siap semua silahkan saja," kata Hening.
Sebelumnya, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat, Netty Prasetiyani mengatakan, saat ini Raperda Pedoman Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia asal Jabar ini masuk dalam tahap uji publik.
Lalu, Raperda ini akan dibahas di DPRD Provinsi Jawa Barat dan diharapkan bisa disahkan.
"Raperda ini diharapkan betul-betul menekan angka korban human trafficking yang pintu masuknya dari ketenagakerjaan," katanya.
Apalagi, kata dia, setiap tahun tidak kurang dari 4 juta warga yang ke luar negeri dan 10 persen di antaranya menjadi korban perdagangan manusia.