REPUBLIKA.CO.ID, Diantara ribuan bidan yang berteriak, Irma tampak. Perempuan itu turut berunjukrasa ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (19/8). Panasnya hari tak membuat semangatnya pudar. Bersama ribuan bidan dari 12 provinsi, Irma ke Jakarta menuntut hak.
Irma bekerja di daerah Loji, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Dia berkisah, cukup sulit untuk mencapai ke tempat kerjanya. Dia harus menempuh jalan bebatuan dan tanjakan yang curam. Terpaksa, Irma menggunakan ojek.
Loji berada di daerah pegunungan yang sulit mendapatkan sinyal. Sehingga, sulit bagi Irma untuk berkordinasi jika ada pasien yang harus turun ke bawah mencari rumah sakit. Di Karawang, Irma mengontrak sebuah rumah agar tidak terlalu jauh untuk mencapai tempat kerjanya.
Irma bekerja sebagai bidan sejak tahun 2008. Dua tahun pertama bekerja sebagai bidan, gaji yang didapat dianggap Irma hanyalah Rp 600 ribu, di bawah UMR yang ditetapkan oleh pemerintah. Hanya, Irma masih mengucap syukur. Jika dibandingkan dengan praktik sebelumnya, Loji masih lebih baik.
"Sebelum saya di Loji, desa di tempat saya bekerja tidak mendapatkan listrik, sekalinya dapat listrik, suka mati. Padahal listrik itu sangat dibutuhkan bagi para bidan dalam proses persalinan", ujarnya saat di temui RoL pada aksi demo bidan PTT di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (19/8)
Kegalauan kian menghujam Irma dengan adanya peraturan menteri kesehatan (Permenkes) nomor 7 tahun 2013. Beleid ini mengatur bidan pegawai tidak tetap (PTT) yang sudah bekerja selama 9 tahun tidak boleh di perpanjang lagi. Irma pun cemas tentang masa kerjanya yang akan habis pada 2016.
Jika sudah selesai masa kerja selama 9 tahun, maka Irma akan di berhentikan. Dia dipersilakan untuk membuka praktik mandiri. Meski bakal mendapatkan 'otoritas lebih', Irma mengaku ijin praktik mandiri tersebut adalah hal yang sulit didapatkan.
Bersama ribuan temannya, Irma mengajukan solusi kepada pemerintah. Mereka berharap agar negara mau 'berbaik hati' kepada para bidan untuk mengubah statusnya menjadi PNS. Imbasnya, para bidan akan merasa dihargai oleh pemerintah dan mendapatkan jaminan-jaminan seperti PNS lainnya.
Kordinator Lapangan aksi bidan PTT, Imas Kurniasari, mengungkapkan, aksi ini digelar agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendengar aspirasi para bidan.
"Kita mengharapkan dicabutnya peraturan menteri kesehatan nomor 7 tahun 2013. Kita butuh kejelasan status setelah kerja selama 9 tahun," ujar Imas Kurniasari, di Jakarta, Senin (19/8)
Baginya, meski pemerintah diperbolehkan membuka praktik mandiri selepas masa kontrak 9 tahun, beleid ini dianggap sama dengan pemecatan secara halus. Dia berdalih, tidak semua bidan mampu untuk membuka praktik mandiri tersebut.
Imas menilai, peraturan tersebut membuat para bidan PTT terancam untuk kehilangan pekerjaannya yang akan habis pada 2013 ini bagi para bidan angkatan tahun 2005. Dengan orasi, poster dan spanduk, para bidan meminta kepada pemerintah dan Presiden SBY mendengar jerit hati mereka.