Selasa 20 Aug 2013 11:34 WIB
Laporan HRW tentang Mesir (bagian 3)

HRW: Mayoritas Demonstran Raba al Adawiya Tak Bersenjata

 Anak-anak Mesir mengacungkan jari tanda kemenangan saat bergabung dengan aksi unjuk rasa menolak kudeta dan mendukung Presiden Mursi di luar Masjid Rabiah Al Adawiyah, Nasr City, Kairo, Rabu (31/7).   (AP / Khalil Hamra)
Anak-anak Mesir mengacungkan jari tanda kemenangan saat bergabung dengan aksi unjuk rasa menolak kudeta dan mendukung Presiden Mursi di luar Masjid Rabiah Al Adawiyah, Nasr City, Kairo, Rabu (31/7). (AP / Khalil Hamra)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dalam catatan Human Right Watch, saat jumpa pers pada 14 Agustus 2013, menteri dalam negeri menegaskan, kekuatan keamanan telah mengusir para ekstremis yang menyebabkan tewasnya 43 petugas polisi. Kebanyakan di antara mereka tewas saat bertugas di Raba al Adawiya. 

Seorang warga yang keluar saat mendengar adanya tembakan bersenjata menjelaskan kepada HRW, dia melihat tiga polisi tewas pada 07.30 pagi waktu setempat. Jenazah mereka dibawa keluar dari pusat perbelanjaan di Tiba Mall, salah satu jalan masuk ke kamp aksi duduk. 

Berdasarkan saksi mata dan rekaman video, dapat dikonfirmasi kalau terjadi tembakan yang berasal dari pengunjuk rasa di dalam Masjid Raba al Adawiya. Contohnya, seorang warga mengaku, dia melihat setidaknya tiga orang dengan senapan otomatis dan pistol pada sekitar 08.30 hingga 09.00 pagi waktu setempat menembak polisi di Jalan Yusuf Abbas. 

Meski demikian, pernyataan dari saksi yang diwawancarai oleh HRW, termasuk seorang jurnalis asing dan seorang pengamat dari HRW mengindikasikan, mayoritas pengunjuk rasa  tidak memiliki, apalagi menampilkan atau menggunakan senjata api.

Saksi mata mengatakan, aksi kekerasan yang dilakukan adalah pengunjuk rasa menyalakan api menggunakan ban mobil dan kayu. Mereka melakukan itu untuk mengurangi terhadap efek gas air mata dan melemparkan pecahan ke trotoar.

HRW menulis, standar hukum internasional memang memperbolehkan penggunaan senjata untuk menghadapi demonstrasi dalam situasi terbatas. Penggunaan kekuatan mematikan hanya diizinkan saat senjata memang dibutuhkan untuk melindungi nyawa, termasuk individu yang menggunakan senjata dengan target polisi. 

Akan tetapi, sementara petugas keamanan dibenarkan untuk menggunakan kekuatan dengan bertahap untuk menghentikan aksi unjuk rasa yang melempar batu dan bom molotov, demonstran dilarang menggunakan kekuatan mematikan. Terlebih, pada skala besar seperti yang disaksikan pada 14 Agustus 2013. 

Menurut HRW, penyebaran operasi seharusnya dilakukan di bawah tugas yang ketat untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan operasi tersebut dapat meminimalisasi risiko kehilangan nyawa. Prosedur yang gagal dilaksanakan polisi Mesir saat pembubaran kamp Raba dan Nahda.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement