REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rencana pemerintah membatasi produksi batu bara harus melihat waktu yang tepat. Saat ini bukanlah waktu yang pas. Kalau dipaksakan bisa menjadi bumerang atau setidaknya konter produktif. Namun hal tersebut lebih baik dibandingkan melarang ekspor ataupun menerapkan bea keluar batu bara.
CEO PT Delma Mining Corporation Bob Kamandanu berpendapat, rasanya tak mungkin dalam kondisi pasar seperti sekarang pemerintah malah membatasi produksi batu bara. ‘’Income pemerintah akan semakin tergerus. Justru di saat negara butuh devisa dewasa ini, produksi harus digenjot,’’ kata dia kepada ROL, Kamis (22/8).
Sekarang, kata Bob, pemerintah Indonesia sedang memerlukan banyak devisa untuk menangkal kejatuhan rupiah. Premisnya adalah apabila produksi batu bara dibatasi maka pendapatan pemerintah akan menurun.
Pemerintah memperkirakan kebutuhan batu bara domestik pada 2014 sebesar 95.550 ribu ton dengan alokasi terbesar untuk PT PLN (Persero) sebesar 57.400 ribu ton disusul kemudian untuk pembangkit listrik swasta (IPP) 19.910 ribu ton dan kebutuhan industri semen sebesar 9.800 ribu ton. Estimasi kebutuhan tersebut berdasarkan alokasi kewajiban untuk memasok pasar dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25,90 persen seperti tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM No. 2901 K/30/MEM/2013.
Badan usaha pertambangan batu bara diwajibkan untuk memenuhi persentase minimal penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri sebesar 25,90 persen dari perkiraan produksi batu bara pada tahun 2014 sebesar 368.899.464 ton yang berasal dari 50 perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), satu badan usaha milik negara (BUMN), dan 34 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara.