REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) sudah siap masuk ke bisnis energi baru dan terbarukan (EBT). Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, Pertamina bahkan sudah mulai masuk ke dalam bisnis energi baru terbarukan.
"Untuk mempercepat EBT menjadi base load energy masa depan, harus diperhatikan aspek-aspek pendukung kondusifnya EBT," kata dia saat memberikan orasi ilmiah pada acara Pemberian Penghargaan Sarwono Prawirohardjo XII, di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jumat (23/8).
Karen menguraikan, yang sangat diperlukan di antaranya adalah kebijakan energi nasional yang mantap dan regulasi EBT yang konsisten. Faktor keekonomian pun harus mendapat perhatian, juga sinergitas antar badan usaha milik negara (BUMN).
Kebijakan energi nasional, kata Karen, harus menjadi komitmen untuk mengembangkan energi alternatif yang berkelanjutan sebagai base load energy nasional yang mampu mendorong berkembangnya energi alternatif. ''Contohnya penggunaan tebu,'' ujar dia.
Regulasi EBT dalam pandangan Karen belum mampu menginterintegrasikan kebijakan energi nasional. Semisal, konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas, belum diimbangi dengan kebijakan pemanfaatan teknologi untuk kendaraan berbahan bakar gas.
Lalu, kata Karen, isu lokasi geotermal yang berada di area konservasi hutan vs isu lingkungan hidup. Selain itu penyelarasan antara kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terkait isu energi, juga memerlukan penanganan serius.
Faktor keekonomian, ujar dia, utamanya adalah masalah harga. Sistem harga BBM dan bahan bakar dari energi baru (gas/steam) serta energi terbarukan yang belum mampu mendorong konsumen untuk beralih dari BBM ke EBT.
Kedua, diperlukan sekali insentif untuk proyek-proyek nasional, terutama untuk pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan. Misalkan, kebijakan fiskal, pajak dan lainnya. Sinergi di antara BUMN dalam mengakselerasi pengembangan EBT tak kalah penting untuk mewujudkan peralihan energi.
Pada kesempatan terpisah Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan, pihaknya bertekad merevitalisasi proyek energi baru terbarukan (EBT) yang sempat tersendat. Masa depan energi terletak pada pemanfaatan EBT. Karena itu Susilo. Menekankan pentingnya merevitalisasi proyek EBTKE yang mangkrak. "Seperti dahulu ada biodiesel menggunakan jarak sebagai bahan baku. Padahal petani sudah banyak yang menanam jarak,'' ungkapnya.
Peningkatan kebutuhan energi cukup pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Tantangan ke depan, kata Susilo, produksi minyak akan semakin menurun, ketergantungan terhadap energi fosil harus segera dikurangi. Karena setiap harinya dibutuhkan sekitar 1,4 juta barel per hari minyak mentah untuk memenuhi tingkat konsumsi masyarakat. Dari angka itu kurang dari setengahnya yang diproduksi dalam negeri sisanya mengimpor dari luar. Setiap tahun kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) akan naik delapan persen. Peralihan dari energi fosil ke EBT harus dirasakan sebagai kebutuhan mendesak.
Dia mengatakan, pembangkitan listrik EBT akan menghemat pengeluaran negara. ''Dengan adanya biodiesel 100 ribu sampai dengan 200 ribu barel bisa menghemat triliunan dana negara,'' jelas dia.