REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Priyantono Oemar
Ketika konflik pecah di sekelilingnya, Sulawesi Utara terbebas dari konflik itu. Masyarakat sipil menjaga menjaga toleransi demi terjaganya keamanan.
‘’Kalaupun ada konflik-konflik kecil, itu bukan karena sentiment agama, melainkan karena kenakalan anak-anak muda,’’ ujar Ishaq Pulukadang, guru besar FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado.
Aksi penusukan dan ‘perang’ antarpemuda sering terjadi di Minahasa. Biasanya dipicu ketersinggungan ketika sedang mabuk. Kapolres Minahasa AKBP Henny Posumah mengakui tindak kriminal akibat mabuk cukup menonjol.
‘’Tapi sejak pimpinan Polda mencanangkan kampanye Brenti Jo Bagate (berhenti mabuk), kecenderungannya menurun,’’ ujar Henny.
Indikasi akan munculnya konflik karena sentimen agama bukannya tak ada. Pada Idul Fitri 2002, 15 truk penuh pemuda Brigade Manguni menuju ke Manado dari Tomohon. Mereka ingin membantu aparat menertibkan pedagang kaki lima musiman Muslim. Tokoh Legium Christum segera memberi tahu MUI Manado, dan MUI Manado menyampaikannya ke Polda.
Polisi pun segera mencegah mereka masuk Manado. Keributan pun tak terjadi. Brigade Manguni dikenal sebagai milisi dari kalangan Protestan. Sedangkan Legium Kristum adalah milisi dari kalangan Katolik.
Pimpinan organisasi keagamaan di Sulawesi Utara pada 1998 telah membuat kesepakatan bekerja sama mencegah munculmnya kekerasan karena sentiment agama. Maka, ketika pada April 2004 pecah kekerasan di Maluku Utara, tokoh-tokoh penting Sulawesi Utara menyerukan agar masyarakat Minahasa tidak lagi menerima pengungsi Kristen dari provinsi di sebelah timurnya itu.
Konflik sebelumnya telah mendatangkan 80 ribu pengungsi Kristen dari Maluku yang membawa sekaligus dendamnya terhadap Muslim. Pada 2004 itu juga, konflik di Poso telah menggerakkan Brigade Manguni turun ke jalan, melakukan protes dengan arak-arakan sepeda motor.
Sulut memiliki struktur ekonomi yang tidak mendorong munculnya konflik. Distribusi kekayaan terbilang merata. Hanya 11 persen (data 2001) penduduk yang miskin (nomor empat setelah Jakarta, Bali, dan Riau sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan paling rendah). Per Maret 2013, penduduk miskin Sulawesi Utara sudah turun 7,88 persen.
Desentralisasi
Setelah reformasi, Sulawesi Utara mengalami pemekaran secara massif. Gorontalo menjadi provinsi baru, Kabupaten Minahasa juga mekar menjadi empat kabupaten (Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Minahasa Utara) dan satu kota (Kota Tomohon). Kini sedang ada permintaan mekar lagi untuk satu kabupaten (Minahasa Tengah) dan satu kota (Kota Langowan).
Sedangkan Bolaang Mongondow mekar menjadi Bolaang Mongondow, Boloaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara, dan Kotamobagu. Di wilayah kepulauan, ada Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Maka, kecamatan dan desa juga mengalami pemekaran yang massif. Hanya Kota Manado dan Kota Bitung yang tak mengalami pemekaran.
Akibat pemekaran itu, tak heran jika ada desa yang penduduknya hanya sebanyak di tingkat RW di Jakarta. Desa Banga di Kecamatan Touluaan Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, hanya memiliki 80-an pemilih pada pemilihan hukum tua (pilhut) pertama kali Oktober 2012 setelah pemekaran.
Jumlah suara itu diperebutkan lima calon hukum tua –istilah kepala desa di Minahasa. ‘’Calon yang menang hanya mendapat 32 suara, karena penduduknya cuma seratusan keluarga,’’ ujar Danramil 1302-03 Kakas, Kabupaten Minahasa, Kapten Edwin Tatuil, yang memiliki wilayah kerja hingga Desa Banga.
Desa Tumbak juga mengalami pemekaran yang membuat satu desa hanya memiliki 150-an keluarga. Desa di Kecamatan Pusomaen, Kabupaten Minahasa Tenggara, yang berhadapan dengan Laut Maluku itu dimekarkan menjadi Desa Tumbak dan Desa Tumbak Madani pada 2010.
‘’Di sini ada 155 keluarga,’’ ujar Hukum Tua Desa Tumbak Madani, Muhammad Ibrahim.
Jumlah pemilih pada pilhut pertama Desa Tumbak Madani ini lebih dari 360 orang. Dua desa ini multietnis, mulai dari Bajo, Bugis, Jawa, Batak, Buton, Bali, Mandar, Sasak, ada juga dari Papua, dan kebanyakan dari Gorontalo, yang mayoritas bekerja sebagai nelayan.
Pemekaran itu membuat Desa Tumbak terjepit. Dijepit laut, rawa, dan Desa Tumbak Madani. Sudah tak punya wilayah kosong untuk membangun rumah baru. Jika ingin membuat rumah, warga Tumbak harus ke luar desa, membeli tanah di wilayah Tumbak Madani ataupun desa lainnya. Kini, rumah di Tumbak diisi oleh 2-3 keluarga.
Jika nekat membuat rumah baru di wilayah Tumbak, terpaksa membabat bakau, dan membangun rumah di kawasan bakau. ‘’Pemekaran terkesan dipaksakan, karena idenya datang dari atas, bukan dari warga, sehingga sempat memunculkan konflik soal perbatasan,’’ ujar Muhammad Nur Al-Afif Hafild, koordinator kelompok peneliti sosial budaya Ekspedisi NKRI/Sulawesi Subkorwil Minahasa, yang melakukan penelitian di Tumbak pada Juli 2013.
Peneliti antropologi pada Indonesian Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK) Universitas Padjadjaran, Bandung, Abriveno YL Pitoy memberi catatan yang perlu diperhatikan agar pemekaran wilayah tak mendegradasi kearifan lokal. Pemekaran berpotensi mendegradasi sistem kerja sama komunal dan sistem komunikasi/peringatan dini serta pola pertanian.
‘’Masalah utama berikutnya adalah krisis identitas,’’ ujar Pitoy.
Untuk menjaga bakau ini, dua desa ini bekerja sama. Desa Tumbak memiliki kelompok pengawas dan Desa Tumbak Madani memiliki kelompok pembibit dan penanam bakau. Semula, mereka bingung soal pemanfaatan/pengawasan perairan dan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di sekitar, seperti Pulau Ponteng, Pulau Baling-Baling, dan Pulau Bentenan, yang memiliki potensi wisata laut. Karena pembuatan batas wilayah tak mencapai laut, maka mereka bersepakat laut dan pulau-pulau di sekitar dimanfaatkan secara bersama-sama.
Pulau Bentenan yang lebih dekat ke Desa Tumbak, yang selama ini dijadikan lahan menanam sayur dan buah, setelah pemekaran akhirnya digarap oleh warga di dua desa itu. Banyak lahan di pulau ini yang sudah dikuasai orang-orang dari luar Desa Tumbak, Tumbak Madani, dan Desa Bentenan. Lokasi makam yang berada di Desa Bentenan yang sebelum pemekaran milik Desa Tumbak, kini menjadi milik Desa Tumbak dan Desa Tumbak Madani.
Sejak Permesta
Ketika daerah lain belum bicara soal desentralisasi, Sulawesi Utara sudah menuntutnya pada 1957 lewat Perjuangan Semesta (Permesta) yang diproklamasikan oleh Letkol Ventje HN Sumual. Pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersifat sentralistik oleh Permesta dianggap sebagai masalah besar bagi daerah; memiskinkan daerah. Ini bukan gerakan memisahkan diri, melainkan gerakan menuntut pembangunan daerah –masih dalam wilayah NKRI.
Permesta bergaung di daerah lain, sehingga terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republika Indonesia (PRRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Ventje Sumual sebagai kepala staf Angkatan Darat dan Soemitro Djojohadikusumo sebagai menteri perhubungan.
Menurut Ventje Sumual dalam memoarnya, Soemitro mempunyai peran penting di Permesta, yaitu menjadi konsultan pembangunan. Lima bulan Permesta berjalan, Sulawesi Utara mampu memperbaiki 70 persen jalan. Jembatan, irigasi, pelabuhan, juga dibenahi. Anggarannya dari mana?
Minahasa sebagai produsen utama kopra, secara diam-diam menjual kopra keluar. Minahasa tak mau tunduk pada keinginan Jakarta untuk memonopoli kopra pada 1956 dengan harga yang murah. Kopra adalah andalan Minahasa. Tahun 1930-an, 90 persen ekspor dari Minahasa adalah kopra.
Di masa Orde Baru, pemerintahan yang sentralistik semakin berdampak negatif bagi daerah. Dekade 1980-an dinilai Ventje Sumual sebagai puncak pemiskinan daerah akibat pemerintahan yang sentralistik itu. ‘’Sektor industri tak bertumbuh secara memadai, maka daerah Sulawesi Utara, dan umumnya daerah di Indonesia, hanya jadi konsumen dari daerah-daerah sentra industri, dengan segala konsekuensi ekonomi dan sosial yang parah,’’ tulis Ventje HN Sumual dalam buku Memoar yang diterbitkan 2011.
Anjloknya harga komoditas andalan Sulawesi Utara, cengkeh dan kelapa, adalah dampak politis dari sistem sentralistik yang melahirkan kebijakan yang merugikan daerah. ‘’Sulawesi Utara terhitung daerah surplus kemudian terjungkir balik jadi miskin,’’ tulis Ventje Sumual. ‘’Di mana-mana dengan sedih kita menyaksikan suburnya patologi sosial, sebagaimana banyak diberitakan di media massa.’’
Ketika Ventje Sumual mencetuskan Permesta, tujuan dia bukan mencari kekuasaan. Tujuan utama dia adalah pemerataan pembangunan. Maka, ketika Soeharto berkali-kali menawari jabatan di kementerian, ia pun terus menolaknya. Ia memilih jalur perjuangan melalui bisnis pemerkuatan masyarakat sipil. ‘’Bangunan demokrasi hanya bisa tegak oleh civil society,’’ tulis dia. ‘’Penegakan HAM dan kedailan kuncinya.’’
Sebagai reaksi dia terhadap puncak pemiskinan daerah itu, di awal dekade 1990-an, ia bersama para tokoh Sulawesi Utara mencetuskan pendirian bank perkreditan rakyat (BPR). Pertama kali berdiri sekaligus lima BPR di bawah naungan BPR Gema Mapalus Raya. Dalam kurun 10 tahun, BPR ini telah mengucurkan Rp 100 miliar. ‘’BPR-BPR Mapalus ini bukan saja menolong rakyat agar tak miskin terpuruk oleh praktik rentenir, tapi sungguh mendorong pembangunan ekonomi dari sangat banyak keluarga di pedesaan,’’ kata dia.
Otonomi daerah dan penguatan masyarakat sipil menjadi hal yang tak dapat dipisahkan. David Hanley, Maria Schouten, dan Alex Ulaen memberikan catatan penting. Bagi Hanley dan kawan-kawan yang telah melakukan penelitian di Minahasa itu, desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia perlu difokuskan pada ‘’upaya untuk menciptakan hubungan yang sehat antara negara dan masyarakat.’’
Menurut Hanley dkk yang hasil penelitiannya dimuat di buku Politik Lokal di Indonesia (Obor-KITLV Jakarta, 2007), proses-proses desentralisasi dan demokratisasi ‘’harus mempermudah usaha untuk merintangi nafsu-nafsu predatoris yang rentan pada negara, karena mereka mengusai sarana pemaksaan.’’
Minahasa telah menghadirkan bukti-bukti itu. ‘’Bukti Minahasa kontemporer menegaskan bahwa masyarakat sipil tidak dapat menggantikan negara, melainkan hanya melengkapinya,’’ tulis Hanley dkk.
Jenis negara yang perlu dilengkapi oleh masyarakat sipil ini, menurut Hanley dkk, adalah negara yang terikat kontrak sosial dengan warganya. ‘’Namun memegang otonomi yang cukup memadai untuk melakukan intervensi dalam masyarakat dengan kekerasan dan ketidakberpihakan ketika hal itu dituntut untuk memenuhi kontraknya,’’ tulis Hanley dkk.