REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pembubaran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan Gas (SKK Migas) guna menghilangkan perbuatan korupsi tidak tepat, karena masalah kelembagaan hanya relevan dibicarakan dalam konteks sejauh mana tanggung jawab lembaga tersebut.
"Keinginan untuk menghilangkan perbuatan korupsi tidak seharusnya berkutat pada bagaimana status dari suatu lembaga, ataupun kewenangan apa yang dimiliki oleh lembaga tersebut," kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana di Jakarta, Rabu (28/8).
Hikmahanto mengomentari adanya wacana pembentukan lembaga baru di sektor migas pengganti SKK Migas yang dapat menjual migas yang menjadi hak pemerintah agar tidak terulang kasus Kepala SKK Migas non-aktif Rudi Rubiandini. Sejumlah pihak mengatakan dengan tidak adanya kewenangan untuk menjual migas hak pemerintah secara langsung maka terjadilah suap, penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya, dan gratifikasi yang semuanya masuk dalam tindak pidana korupsi.
Menurut Hikmahanto, ketika Pertamina berdasarkan UU.8/1971 masih eksis dan Pertamina kala itu dapat menjual migas hak negara secara langsung, korupsi pun ditenggarai marak. Demikian juga saat Bulog di zaman pemerintahan Soeharto yang merupakan Lembaga Pemerintah Non-Departemen mirip dengan status SKK Migas saat ini, dapat melakukan jual beli langsung untuk kebutuhan pokok, korupsi pun diduga marak terjadi.
Karena itu, katanya, upaya pemberantasan korupsi sepatutnya difokuskan pada manusia yang menduduki jabatan, kesejahteraan terperhatikan, governance berjalan dengan baik dan tata kelola industri transparan. "Adapun masalah kelembagaan hanya relevan dibicarakan dalam konteks sejauh mana tanggung jawab lembaga tersebut. Apakah tanggung jawab tersebut dapat diatribusikan atau ditarik ke negara atau tidak," katanya.
Kedudukan SKK Migas saat ini, katanya, secara ketatanegaraan merupakan bagian dari pemerintah. Konsekuensinya secara kontraktual, cidera janji oleh SKK Migas dapat diatribusikan ke negara. Menurut dia, atribusi tanggung jawab ke negara tidak bisa dilakukan bila negara mendirikan lembaga yang terpisah. Contohnya adalah Pertamina berdasarkan UU.8/1971 atau BP Migas yang telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena itu, katanya, wacana pembentukan lembaga baru pengganti BP Migas harus berada dalam koridor tersebut. Wacana tidak seharusnya dalam rangka pemberantasan korupsi, inefisiensi atau para pejabat yang kurang berpihak pada investor nasional, termasuk BUMN.