REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG--Tiga peraih penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari akan menyerahkan kembali penghargaan tersebut kepada Presiden dan Kementerian Kehutanan, sebagai protes keras atas kerusakan hutan Samosir pada tiga kabupaten khususnya sekitar Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara.
Mukri Friatna, Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional untuk Urusan Bencana dalam penjelasan diterima di Bandarlampung, Rabu (28/8) menyebutkan bahwa pengaduan warga Samosir itu disampaikan langsung kepada Abetnego Tarigan selaku Direktur Eksekutif Nasional Walhi bersama pengurus Walhi lainnya.
Menurut Mukri, perwakilan warga termasuk peraih penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari dari Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Dairi di sekitar hutan Samosir di Sumut itu, hadir ke sekretariat Walhi Nasional di Jakarta, untuk mengadukan permasalahan tersebut.
Warga setempat terus mengeluhkan air Danau Toba yang telah tercemar. Kini kampung-kampung masyarakat sekitarnya sering dilanda bencana banjir dan kekeringan serta serangan kera ekor panjang.
Mereka mencemaskan kondisi tersebut yang sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Karena itu, sebagai bentuk protes, mereka mengancam mengembalikan penghargaan Kalpataru maupun Wana Lestari yang telah diterima warga di sana kepada Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Mukri menyebutkan, dengan didampingi Walhi, penghargaan tersebut akan dikembalikan pada Selasa, 3 September 2013. Sebelumnya, dua warga, Wilmar Eliaser Simanjorang dan Marandus Sirait, pada 2 Agustus 2013 juga telah mengembalikan dua penghargaan "Danau Toba Award" kepada Gubernur Sumut.
Pada Mei lalu, tokoh dan raja adat dari Kabupaten Samosir Sumut telah datang untuk mengadukan satu lagi praktik penghancuran hutan kepada Walhi di Jakarta. "Kini mereka mengancam akan mengembalikan lagi dua penghargaan yang telah diterima itu," katanya lagi. Warga setempat mengeluhkan praktik penghancuran hutan alam seluas 4.046 hektare masih berlangsung secara terbuka.
Berbagai elemen masyarakat setempat telah berupaya serius menghentikan perusakan hutan dan lingkungan setempat meskipun mereka mendapatkan ancaman kekerasan seperti dialami Wilmar Eliaser Simanjorang di kawasan hutan Telle pada 16 Mei 2013 lalu. Wilmar dalam pertemuan dengan Pengurus Eksekutif Nasional Walhi itu menuturkan, saat itu dia diancam dengan parang panjang dan kamera miliknya dicacah sampai hancur.
Dia mengaku hanya melakukan pemantauan saja. Kasus tersebut pada Rabu ini digelar perkara oleh Polda Sumatera Utara. Karena menilai terlalu kuat jaringan penghancur hutan tersebut, dia bersama warga di sana berharap Mabes Polri ikut memantau prosesnya.
Kecintaan masyarakat terhadap alam dan lingkungan di wilayah Toba Samosir, Samosir, dan Dairi telah diwujudkan dengan upaya penanaman pohon secara mandiri di atas lahan kritis seluas 40 hektare, dan pembibitan pohon langka oleh Marandus Sirait.'
Tertanam pula 64 ribu pohon oleh Wilmar Eliaser bersama komunitas Desa Hoetagindjang di kawasan Gunung Pusuk Buhit. Sedangkan Hasoloan Manik bersama kelompoknya telah melakukan penyelamatan kawasan hutan di Dairi.
Danau Toba adalah salah satu danau terbesar di Indonesia dan dikenal di mancanegara karena keindahan alamnya. Warga mencemaskan, jika ekosistem Danau Toba terus dibiarkan rusak. "Apalagi yang akan disuguhkan, apakah akan dijadikan tujuan wisata karena kerusakan alamnya," ujar Mukri lagi.