REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mantan Presiden B.J. Habibie mengungkapkan alasannya membuka keran kebebasan pers pada era reformasi karena sulitnya melakukan evaluasi terhadap kementerian yang ada.
"Sewaktu saya menjadi presiden, saya tidak tahu mendapat laporan dari Bakin (BIN), Deplu (Kemlu), Depdagri (Kemendagri) dan sebagainya," ujar Habibie dalam acara peringatan HUT Ke-19 AJI di Jakarta, Kamis.
Habibie mengaku kesulitan melakukan evaluasi terhadap laporan-laporan yang masuk tersebut. "Laporan tersebut ada yang kontradiktif dari realita yang ada," kata dia.
Satu-satunya cara, lanjut dia, adalah membuka keran kebebasan pers. Pers yang bertugas mengawasi Pemerintah.
Ia juga menelpon dan berkonsultasi dengan wartawan senior Parni Hadi. Hingga akhirnya, Habibie memutuskan membuka keran kebebasan pers. "Kita membangun Indonesia dengan sumber daya manusia. Mengapa harus diberedel? Jika tidak terbukti, bisa ditegur," tukas dia.
Habibie juga membantah dirinya mengadu kepada mantan Presiden Soeharto ketika Majalah Tempo mengupas mengenai pembelian kapal bekas Jerman Timur sehingga majalah itu akhirnya diberedel.
Habibie juga menambahkan alangkah baiknya yang dibahas mengenai masa depan, bukan hal yang telah berlalu.
Era Presiden Soeharto dikenal sebagai era yang represif terhadap pers dan Pemerintah mengawasi pers. Namun, sejak pemerintahan Habibie hal itu tidak berlaku.