REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf menilai, penjaringan calon presiden yang dilakukan Partai Demokrat lewat konvensi, masih paling demokratis dibanding parpol lain yang hanya mengusung ketua umumnya saja sebagai capres.
Ia berpendapat, sebaiknya semua parpol mengikuti cara yang ditempuh Demokrat. "Memang banyak kritik terhadap pelaksanaan konvensi PD, saya juga mengkritik," ujar Asep ketika dihubungi wartawan, Ahad (1/9).
Konvensi, menurutnya, juga akan mengkikis keharusan mengusung ketum partai menjadi capres yang selama ini lazim diterapkan parpol di Indonesia.
"Selama ini kan karena calon presiden ditetapkan oleh partai politik, maka seperti sudah menjadi otomatis capresnya adalah ketua umumnya. Ini tidak baik. Harusnya bukan ketua umumnya saja, karena meski jabatannya ketua umum, belum tentu ketua umum adalah calon terbaik. Itu makanya untuk mencari calon terbaik maka dibuka ruang konvensi, itu yang dipraktekkan di negara-negara demokrasi seperti AS," paparnya,
Tapi konvensi Demokrat bukan berarti tak boleh dikritik. Ia melihat cara pelaksanaan konvensi yang membuka ruang bagi nonkader menjadi capres justru seperti antitesa dari pelaksanaan demokrasi. Konvensi ala Demokrat justru akan membuat orang enggan bergabung ke parpol. Sebab mereka menilai menjadi capres tidak perlu masuk parpol, cukup dengan mengikuti konvensi saja. "Pemikiran akan sangat pragmatis," kata Asep.
Padahal, masih kata Asep, harus diakui secara konstitusional parpol adalah saluran yang demokratis dan konstitusional untuk menjadi capres. "Artinya kalau orang mau menjadi pemimpin, maka berkarierlah di dalam parpol memperjuangkan ideologi yang dimilikinya, yang sama dengan parpol yang dipilih," tegasnya.