REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah restoran belum mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menimbulkan pertanyaan di masyarakat, apakah sulit mendapatkan sertifikat halal.
Penggagas komunitas Halal Corner, Aisha Maharani Mengatakan, biaya untuk mendapatkan sertifikat halal tergantung pada level perusahaan. Usaha kecil menengah (UKM) tentu berbeda dengan perusahaan besar.
Ia menyebut UKM yang ingin mendapatkan serrtifikat halal harus merogoh kantong antara Rp 600 ribu hingga dua juta rupiah. Perusahaan besar harus mengeluarkan biaya lebih dari itu. Besarnya biaya antara lain juga ditentukan dari banyaknya jenis produk dan banyaknya outlet.
Air minum kemasan, misalnya lebih mudah diteliti dibandingkan produk makanan. Sebab, produk makanan memakai bumbu dan alat memasak yang juga harus diteliti halal dan haramnya.
MUI sendiri bukanlah lembaga yang mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Semua biaya untuk membayar auditor dan pegawai Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI ditanggung MUI. Apalagi 90 persen auditor didatangkan dari luar. LPPOM MUI hanya memiliki 10 auditor permanen.
Aisha berharap MUI lebih tegas dan ada mekanisme hukum yang jelas dari pemerintah. Selama ini belum ada kekuatan hukum yang mengatur mengenai kehalalan suatu makanan, sehingga sulit menjerat produsen yang belum mempunyai sertifikat halal.
Apalagi masih ada produsen yang memandang tanpa sertifikat halal, restoran atau produknya tetap ramai dikunjungi konsumen. "Satu-satunya yang bisa menjerat adalah UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan yang di dalamnya harus mencantumkan label pangan," ujar Aisha.
Dikutip dari laman halalmui.org, MUI melalui LPPOM mengumumkan belum pernah melakukan pemeriksaan atas produk makanan dan minuman dan mengeluarkan sertifikat halal untuk restoran Solaria dimanapun. MUI tidak menjamin kehalalan makanan dan minuman yang disajikan restoran Solaria.