Rabu 04 Sep 2013 10:28 WIB

Inilah Akar Konflik Arab Saudi dan Ikhwanul Muslimin

Demonstran Ikhwanul Muslimin menggelar aksi demonstrasi menentang penggulingan Presiden Muhammad Mursi di halaman Masjid Rabaa Al Adawiya, Kairo, Mesir.
Foto: EPA/Khaled Elfiqi
Demonstran Ikhwanul Muslimin menggelar aksi demonstrasi menentang penggulingan Presiden Muhammad Mursi di halaman Masjid Rabaa Al Adawiya, Kairo, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Agung Suprio*

Kerajaan Arab Saudi mendukung sikap pemerintahan sementara Mesir yang melakukan pembantaian terhadap para demonstran yang berasal dari Ikhwanul Muslimin (IM). Kata Raja Saudi, demonstran itu adalah teroris. Sedemikian parahnyakah hubungan antara kerajaan Saudi dan kelompok IM? Tulisan ini akan mengungkap akar konflik kerajaan Arab Saudi dengan kelompok IM.

Kerajaan Arab Saudi berdiri di bawah pengaruh paham wahabi yang diciptakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.  Wahabi melarang praktik bid’ah kurafat, yaitu praktik ibadah yang tidak pernah tertulis dalam Alquran dan diajarkan oleh Nabi Muhammad, seperti mengeramatkan kuburan, memakai jimat, memohon dengan perantaraan orang yang sudah mati, dan yang sejenisnya.

Sebaliknya, mereka menganggap apa yang dipraktikkan oleh Nabi dan salafus saleh wajib diikuti sampai sekarang tanpa terkecuali. Misalnya, model celana ngatung (celana bahan yang longgar di atas mata kaki), memelihara jenggot, dan tidak boleh merapikannya betapa pun jenggot itu menganggu penampilan. Mereka menghakimi orang yang melakukan ibadah tetapi tidak sesuai dengan praktik ibadah nabi dengan sesat dan amalnya ditolak Allah.

Paham wahabi ini mulai berkembang di bawah Dinasti Suud (pendiri Kerajaan Saudi) dan meluas pengaruhnya di Timur Tengah. Pengaruh mereka semakin terasa di era modern pasca-oil boom yang terjadi pada 1980-an di mana negara-negara jazirah Arab yang mendapatkan pemasukan yang besar dari melambungnya harga minyak dunia mulai mempromosikan paham wahabi ke luar Timur Tengah termasuk Indonesia.

IM adalah organisasi yang didirikan Hasan al Banna di Mesir dengan genre Islam modernis. Al Banna terpengaruh oleh Rasyid Ridha yang membenci praktik bid’ah namun bersikap luwes terhadap pengamalan Quran dan Sunah, bahkan mampu memberi kritik terhadap praktik kekhilafahan pada masa Usman bin Affan yang dinilainya nepotis.

Ridha menghalalkan demokrasi. Baginya, sistem yang dapat menciptakan kontrol terhadap kekuasaan sesuai dengan Islam. Ridha banyak terinspirasi dari gurunya, Dekan Filsafat Universitas Al-Azhar Muhammad Abduh, yang jauh lebih liberal dan pemikirannya sering bermasalah dengan kebijakan Al-Azhar yang konservatif.

Dibanding wahabi, IM lebih liberal dalam pengertian memahami teks secara kontekstual dan mengakomodasi istilah-istilah Barat ke dalam terminologi Islam, seperti demokrasi, revolusi, dan demonstrasi. Wahabi mengharamkan dari segi semantik maupun praksis istilah-istilah Barat semata-mata karena tidak ada dalam teks dan tidak diajarkan oleh Nabi. Di negara-negara Timur Tengah yang dikuasai paham wahabi, seperti Arab Saudi dan Kuwait, tidak ada demokrasi dan pemilu. Sementara, negara-negara yang dikuasai IM, seperti Tunisia dan Mesir era Mursi, demokrasi dan pemilu diterapkan.

Dalam kekuasaan, wahabi menekankan pada ketundukan rakyat terhadap raja tanpa syarat. IM yang selalu oposan menciptakan karakter pemikiran yang progresif. Ditambah dengan asertifnya IM terhadap gagasan Barat maka pemikiran IM melawan kekuasaan dengan cara yang lazim digunakan di Barat. Tema-tema keadilan sosial dan revolusi yang menjadi tema kritik oposisi kelompok kiri di Barat menjadi tema umum dalam cakrawala pemikiran IM, terutama pada masa Gamal Abdul Naser pada 1950-an.

Puncaknya, pada 1964, seorang kader IM, Sayyid Qutb, menulis manifesto Ma’alim fi al-Tariq (petunjuk jalan) dari bilik penjara. Buku Qutb ini memiliki pengaruh yang luar biasa bagi gerakan Islam di seluruh dunia karena berhasil menciptakan dimensi baru tentang tauhid hakimiyah, yaitu negara yang wajib melaksanakan hukum Islam demi terciptanya keadilan sosial. Pemerintah Muslim yang abai terhadap kewajiban ini maka ia berada di luar akidah Islam dan berhak diperangi. Lawrence Wright (2011) mengatakan, buku Qutb itu sebanding pengaruhnya dengan buku Rousseau, Kontrak Sosial, dengan akibat yang sama berdarahnya. Presiden Anwar Sadat–-pendahulu Husni Mubarak--ditembak mati oleh kelompok sempalan IM yang terinspirasi pemikiran Qutb.

Awalnya, hubungan antara Kerajaan Saudi dan IM berlangsung harmonis. Kerajaan Saudi menampung beberapa pelarian IM dari Mesir, seperti Abdullah Azzam dan Muhammad Qutb (adik Sayyid Qutb) yang dipekerjakan sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz. Krisis hubungan wahabi-IM mulai terjadi sejak perang Afghanistan I, di mana umat berjihad di Afghanistan atas fatwa jihad dari Kerajaan Saudi.

Kelompok Islam radikal Mesir yang terpengaruh oleh Qutb menjadikan Afghanistan tempat pelarian dari kejaran pemerintah Mesir sekaligus menyebarluaskan manifesto Qutb, termasuk yang datang dari Arab Saudi seperti Usamah bin Ladin. Pada 1991, ketika Kerajaan Saudi membolehkan tentara Amerika dan Eropa menjadikan dataran Saudi sebagai tempat untuk membebaskan Kuwait dari Irak, kelompok bin Ladin melakukan demonstrasi.

Seorang wahabi konservatif seperti Bin Ladin tiba-tiba bersuara seperti Qutb. Krisis antara IM dan kerajaan Saudi ini mulai menemukan bentuknya setelah kerajaan meneliti bahwa sumber dari protes terhadap kerajaan adalah pemikiran IM. Tidak hanya Qutb, tetapi semua pemikir IM dianggap sesat bahkan termasuk figur-figur yang tidak ada kaitannya dengan IM seperti Ridha dan Abduh. Sejak itu hingga kini, Kerajaan Saudi dan IM bersimpang jalan.

Pada saat ini, IM lebih memilih ide-ide liberalisme seperti demokrasi dan hak asasi manusia sebagai agenda gerakan daripada revolusi sosial. Hal itu tampak pada buku karangan intelektual IM yang semakin moderat. Munir Al-Gadhban, aktivis IM di Suriah, misalnya, menulis tentang kritik terhadap para teroris yang salah dalam memahami maksud Qutb dalam karyanya Benarkah Ia Guru Para Teroris (2012). Yusuf Qoradhawi mencipta Fiqih Negara (2002) dan Fiqih Jihad (2009) di mana dua buku itu menolak cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan dan menerima negara sekuler.

Di samping itu, keikutsertaan IM dalam pemilu di Mesir membuktikan bahwa IM memang sudah berubah menjadi organisasi demokratik. Namun memang, persepsi Kerajaan Saudi terhadap IM belum berubah. Ditambah lagi dengan adanya kekhawatiran Kerajaan Saudi jika kemenangan IM di Mesir dapat menginspirasi kembali rakyat Saudi untuk melakukan perlawanan kepada kerajaan, tapi tentu saja bukan dengan retorika model Qutb melainkan melalui pemilu yang jujur dan adil. n

*Ketua Himpunan Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana Ilmu Politik UI .

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement