Kamis 05 Sep 2013 10:58 WIB

Abraham Samad: (Mantan) Kepala SKK Migas, Contoh Pejabat Tamak!

Rep: Yulianingsih/ Red: Citra Listya Rini
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad.
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan banyaknya pejabat negara yang melakukan korupsi diakibatkan karena sifat ketamakan dan kerakusan mereka. 

"Contohnya, (mantan) Kepala SKK Migas (Rudi Rubiandini). Dia menerima gaji Rp 220 juta dan ditambah gaji sebagai Komisaris Bank Mandiri Rp 75 juta per bulan. Kalau dia korupsi luar biasa dia serakah. (Uang) Rp 300 juta itu tidak akan habis dimakan sebulan," kata Samad saat memberikan pidato ilmiah kuliah perdana pascasarjana UGM, Kamis (5/9).

Menurutnya, masyarakat tidak akan terima perilaku seperti itu. Dimana gaji sudah tinggi tapi masih saja korupsi. "Ini karena tamak dan rakus. Korupsi yang disebabkan karena keserakahan ini yang menjadi konsen kita. Karena ketamakan penyelenggara negara ini dampaknya pada masyarakat," ujar Samad.

Berbicara KPK, Samad mengungkapkan saat ini jumlah pegawai di lembaga anti-korupsi ini hanya 700 orang dan penyidik 60 orang saja. Dibandingkan dengan laporan yang masuk rata-rata 30 kasus setiap hari dan yang bisa ditindaklanjuti 10 kasus sehingga jumlah pegawai ini kurang memadai.

Samad mencontohkan di Hongkong, lembaga penanganan korupsi di sana hanya menangani satu wilayah saja. Tapi, KPK menangani seluruh wilayah Indonesia karenanya tidak akan mungkin menangani seluruh kasus korupsi. 

Samad mengatakan korupsi di Indonesia sampai 2012 masih memprihatinkan karena indeks persepsi korupsi masih 3,2. Karenanya, kata dia, masih butuh terus komitmen serius agar indeks itu meningkat di 2013. KPK harus terus bekerja progresif ke depannya.

Disampaikan Samad, korupsi itu merupakan kejahatan yang sistematis dan dilakukan oleh orang berintelektual tinggi sehingga KPK harus punya metode tidak konvensional. Kejahatan korupsi terus mengalami evolusi dan terus berkembang sampai canggih. Karena itu pendekatan represif tidak akan mampu memperbaiki sistem yang korup. 

Samad mencontohkan adanya korupsi di Kementrian Agama (Kemenag) yang terus menerus terjadi. Hal itu terjadi lantaran selama ini hanya pendekatan represif yang digunakan. Setelah diobservasi, ternyata harus ada perbaikan sistem kalau terus dijalankan dua atau tiga tahun akan ada perubahan.

"Kita bukan pemadam kebakaran, ada kebaran disemprot selesai. Tetapi kita harus mencari akar masalah agar dua atau tiga tahun ke depan tidak akan ada korupsi lagi," tegas Samad.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement