REPUBLIKA.CO.ID, ST PETERSBURG---Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan mitranya dari Rusia, Presiden Vladimir Putin, pada hari Jumat gagal mengakhiri pertentangan sengit mereka soal rencana AS melancarkan serangan militer di Suriah.
Sementara itu, setengah dari negara-negara anggota G20 mendesak bagi dilakukannya tindakan "keras" terhadap serangan senjata kimia -- yang dianggap dilakukan oleh pemerintah Suriah. Obama mengatakan dunia tidak bisa "tinggal diam" setelah terjadinya serangan kimia di Suriah. Namun, Putin memperingatkan bahwa penyerangan ke Suriah tanpa adanya izin dari Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan tindakan "yang melanggar hukum".
Putin juga mengatakan Rusia akan "membantu Suriah" jika AS akan melakukan serangan, dengan menunjuk pada kerja sama militer, ekonomi dan kemanusiaan. "Kami duduk berbicara... pembicaraan berlangsung secara konstruktif, berarti dan ramah," kata Putin setelah melakukan pertemuan yang tidak dijadwalkan sebelumnya dengan Obama. "Kami tetap pada pendirian masing-masing," kata Putin.
Putin telah menjadi salah satu penentang paling keras campur tangan militer terhadap pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad atas dugaan serangan senjata kimia pada 21 Agustus lalu. Ketika ditanya apa yang akan dilakukan Moskow jika aksi militer terhadap Suriah tetap dilancarkan, Putin mengatakan: "Apakah kami akan membantu Suriah? Ya."
Perpecahan di antara para pemimpin negara-negara maju dan perekonomian yang sedang bangkit itu menyangkut masalah Suriah tercermin dalam sebuah pernyataan yang didukung oleh 11 negara G20. Pernyataan itu mendesak bagi dilakukannya "tindakan internasional yang keras" terhadap serangan kimia.
Tanpa secara terang-terangan menyebut aksi militer, pernyataan itu mengatakan bahwa tindakan tersebut akan "menjadi pesan yang jelas" bahwa kekejaman seperti ini (penggunaan senjata kimia) tidak boleh sampai terulang."
Negara-negara yang menandatangani pernyataan itu termasuk sekutu-sekutu AS seperti Inggris, Prancis dan Arab Saudi. Namun, secara mencolok pernyataan itu tidak didukung oleh Rusia, China serta negara kunci Uni Eropa, Jerman.