REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Sekitar 250 pekerja tahu dan tempe di Kabupaten Lebak, Banten, menganggur akibat aksi mogok dengan tidak berporduksi atas mahalnya kedelai impor di pasaran.
"Kami mencatat sekitar 250 tenaga kerja tahu dan tempe tidak bekerja," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak Wawan Kuswandi di Rangkasbitung, Senin (9/9).
Ia mengatakan, aksi mogok yang dilakukan perajin tahu dan tempe se- Kabupaten Lebak diharapkan tidak berlanjut lama, karena bisa berdampak terhadap pengangguran juga pendapatan ekonomi masyarakat. Selama ini, kata dia, perajin tahu dan tempe terpukul dengan melonjaknya harga kedelai.
Kenaikan kedelai di pasaran hampir setiap hari terjadi akibat melemahnya nilai rupiah terhadap dolar.
"Kami meminta para pedagang tahu dan tempe cukup tiga hari saja tidak berjualan sebagai bentuk protes atas mahalnya harga kedelai impor itu," katanya.
Menurut dia, kenaikan harga kedelai terjadi secara nasional sehingga upaya pemerintah segera menstabilkan harga di pasaran. Selain itu juga produksi kedelai lokal di tingkatkan untuk mendorong swasembada pangan.
Sebab pengembangan kedelai di Tanah Air cukup potensi dan berpeluang menjadi daerah agribisnis pertanian. "Kami yakin pemerintah bisa mengendalikan kedelai dengan waktu dekat dan dalam waktu jangka panjang dengan mewujudkan swasembada kedelai," katanya.
Seorang perajin tempe, Suhali (55) warga Rangkasbitung mengaku bahwa dirinya dan teman-teman lainnya tidak berjualan sebagai bentuk solidaritas atas mahalnya harga kedelai impor--bahan baku tahu dan tempe.
Saat ini, harga kedelai impor di pasaran menembus Rp10.500 per kilogram, padahal sebelumnya Rp7.000/kg.
"Kami berharap Pemerintah segera mengendalikan harga kedelai sehingga pedagang tahu dan tempe normal kembali berproduksi," katanya.