REPUBLIKA.CO.ID, ZAMBOANGA -- Militan Filipina yang ingin mendeklarasikan kemerdekaannya menyandera puluhan warga sipil. Mereka diikat bersamaan dengan tali sebagai perisai manusia pada Rabu (11/9) saat berhadapan dengan pasukan keamanan di kota Filipina Selatan.
Bentrokan keduanya telah memasuki hari ketiga. Dengan melambaikan bendera putih, para sandera mengatakan 'jangan tembak' kepada tentara. Penembak jitu dari militan berada di atap rumah penduduk menembaki para tentara yang jauhnya 500 meter dari wilayah Santa Barbara, Zamboanga.
Di kota lain, tiga militan yang terluka ditangkap setelah baku tembak dengan polisi. Jalan diblokir polisi untuk menghentikan gerak faksi pecahan dari Moro National Liberation Front (MNLF). Empat dekade konflik di selatan Filipina telah menewaskan 120 orang dan membuat dua juta orang mengungsi.
Kemiskinan juga menghantui wilayah yang kaya akan sumber daya alam tersebut. Tahun lalu, kelompok separatis lain, Moro Islamic Liberation Front menandatangani kesepakatan dengan pemerintah. Mereka sepakat dengan wilayah otonomi yang baru dan memberi mereka lebih banyak kontrol politik.
Kesepakatan yang menumbuhkan harapan perbaikan ekononomi tersebut ditentang faksi MNLF. Mereka menandatangani kesepakatan dengan pemerintah pada 1996, tapi mengeluhkan pemerintahan Manila tidak memenuhi janji.
"Pasukan kami hanya membalas tembakan. Kami tidak menyerang," ujar juru bicara militer, Letnan Kolonel Ramon Zagala dikutip nytime.com.
Bentrokan tersebut melumpuhkan bandara dan sebanyak 170 warga diyakini masih terjebak, jika tidak menjadi sandera. Sekolah, toko, kantor ditutup selama tiga hari terakhir. Penerbangan dan layanan ferri juga tidak beroperasi.
Sekitar 12 ribu orang diungsikan ke lima wilayah di pelabuhan. Zamboanga merupakan pusat perdagangan, pendidikan, dan pemerintahan di wilayah selatan. Kota tersebut juga merupakan gerbang utama untuk barang seperti sarden dan minyak.