REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini*
Keimanan otentik dibuktikan dengan kesediaan secara tulus untuk selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Dalam Islam, perintah dilaksanakan sekuat kemampuan, sementara larangan dijauhi tanpa syarat dan tawaran.
Haji, misalnya, hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu. Demikian pula sedekah, zakat, puasa, dan perintah-perintah agama yang lain. Berbeda dengan zina, judi, konsumsi barang haram, dan lainnya, semua itu berlaku mutlak bagi setiap kaum beriman, kaya atau jelata, alim atau awam, besar atau kecil.
Dalam bidang perintah, Allah tidak akan memaksa seorang hamba untuk melakukan kewajiban di luar kemampuannya. Manusia hanya diseru untuk mempersembahkan yang terbaik. Karena, setiap perintah sejatinya demi kemaslahatan manusia, dan setiap larangan pasti mengandung mudarat dahsyat. Fakta demikian sudah banyak dibuktikan oleh pakar-pakar keilmuan modern.
Jika direnungkan, melaksanakan perintah ternyata lebih ringan ketimbang menjauhi larangan. Banyak orang rajin shalat tetapi gagal mencegah diri dari perbuatan jahat. Tidak sedikit orang berulang kali pulang umrah atau haji dari Tanah Suci tetapi masih bersikap tinggi hati. Juga tidak sedikit orang aktif berpuasa wajib dan sunnah sekaligus berperangai abai terhadap penderitaan sesama.
Benarlah kata pepatah, manusia memang tempat salah dan lupa. Ia terlalu mudah terpukau oleh segala yang mempesona indra. Apalagi bujuk rayu setan dan nafsu kerap menjerumuskannya pada kezaliman dan kebodohan. Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 34 berikut.
“Dia telah memberikan kepada kalian keperluan kalian dan segala yang kalian mohonkan kepada-Nya. Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat ingkar.” (QS Ibrahim: 34).
Karena itu, saatnya kaum beriman senantiasa sigap dan waspada. Jangan biarkan segala kebaikan yang susah payah kita usahakan tersapu oleh kezaliman dan kebodohan kita. Sebagaimana pentingnya kita memahami pintu-pintu kebaikan, tidak kalah penting pula mencermati ranjau-ranjau kemaksiatan yang kerap menyeret manusia ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran.
Secara umum, ada empat macam ranjau kemaksiatan. Siapa mampu mengantisipasi keempat ranjau itu, maka dia telah menyelamatkan agamanya.
Pertama, pandangan pertama (al-lahazhat). Pandangan mata memang kerap menipu, sehingga menjadi muasal bencana bagi hidup manusia. Pandangan mata wadag melahirkan lintasan dalam pikiran, sementara pikiran akan mengendalikan setiap ucapan dan perbuatan. Islam sangat menekankan agar kita mampu menjaga pandangan.
Kedua, lintasan pikiran (al-khatharat). Ranjau ini tidak boleh kita anggap enteng dan merupakan yang paling sulit diantisipasi. Betapa tidak, setiap ucapan dan perbuatan manusia, baik atau jahat, mulia atau hina, sudah pasti pantulan dari segala yang terlintas dalam pikirannya. Pikiran yang diterangi cahaya agama akan melahirkan perilaku mulia, sementara pikiran yang berselimut noda akan menghasilkan perilaku tercela.
Ketiga, ucapan (al-lafazhat). Sejenak mari kita renungkan kisah Muadz bin Jabal yang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amalan yang dapat memasukkannya ke surga dan menjauhkannya dari neraka. Rasulullah kemudian memegang lidah beliau sendiri dan berkata, “Jagalah olehmu yang satu ini”. Segera Muadz berkata, “Adakah kita semua bisa disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?” Rasulullah menjawab, “Ibumu kehilangan engkau, Muadz. Tidaklah dapat menyungkurkan wajah banyak manusia ke neraka, kecuali ucapan lidah mereka.” (HR Tirmidzi).
Keempat, tindakan kejahatan (al-khathawat). Modus tindakan kejahatan tentu beragam, baik secara samar maupun tampak. Yang pasti, semua itu merupakan bentuk kemaksiatan. Tidak ada ucapan dan perbuatan jahat yang bukan kategori kemaksiatan. Sebaliknya, segala bentuk kemaksiatan pasti akan melahirkan ucapan dan perbuatan jahat. Itulah sebabnya, kemaksiatan sangat dibenci oleh Allah dan manusia.
Kendati demikian, tidak ada manusia yang dapat lepas dari ranjau kemaksiatan. Terlalu naif jika kita menganggap diri tidak pernah melakukan kemaksiatan. Sepanjang dunia ada dan manusia masih bernyawa, ranjau kemaksiatan akan selalu tersedia. Itulah tantangan hidup manusia yang sebenarnya.
Sebagaimana nurani yang selalu suci, fitrah manusia juga memiliki jiwa yang merupakan pintu masuk keburukan dan kebaikan. Bersyukurlah siapa saja yang mampu mensucikan jiwanya dari segala bentuk kemaksiatan.
“Maka Allah telah mengilhamkan kepada jiwa jalan kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS As-Syams: 8-10).
Mensucikan jiwa dari kemaksiatan jelas bukan perkara mudah. Terlebih di zaman serba modern ini, kemaksiatan selalu tampil memukau dan mempesona. Ghibah alias rerasan keburukan orang dikemas dalam sajian bernama infotainmen. Orang begitu menikmatinya tanpa sadar bahwa dia sesungguhnya sedang melakukan sesuatu yang sangat dilarang agama.
Belum lagi kekerasan, pornografi, pornoaksi, umpatan, kemarahan, pelecehan martabat manusia, dan segudang perilaku sampah lain yang disajikan secara elegan dalam hiburan bernama sinetron dan tontonan musik. TV tidak pernah membatasi pemirsa. Kalangan anak, remaja, dewasa, dan manula di setiap rumah bebas menikmatinya.
Jika tidak kita waspadai dan lawan dengan segenap daya dan doa, ranjau-ranjau kemaksiatan ini jelas akan merontokkan sendi-sendi moralitas dan keberagamaan kita hingga tanpa bersisa. Wallahu a’lam.
*Penulis Buku “Menemukan Bahagia”. email: [email protected]