REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pemerintah Indonesia menginginkan tercapai solusi damai dari konflik yang terjadi di Filipina. Atas dasar itu, Indonesia selalu siap jika diminta untuk menengahi konflik senjata, antara pejuang Moro National Liberation Front (MNLF) dan aparat Filipina di kota Zamboanga.
Dikutip dari Philipinne Star, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty Natalegawa mengatakan Indonesia sebagai tetangga dan Perjanjian Damai tahun 1996, tentu terus memantau perkembangan Filipina. Meski begitu, Indonesia mendesak semua pihak untuk menahan diri. Selain itu memastikan keselamatan dan keamanan seluruh warga sipil.
''Solusi damai adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil kedua belah pihak,'' kata dia, tulis Philipine Star, Jumat (14/9) yang dilansir Ahad (15/9). Kedua pihak, tutur Natalegawa juga sepatutnya mensandarkan diri pada Perjanjian Damai tahun 1996.
Ia menegaskan Indonesia selalu siap, atas permintaan seluruh pihak yang berkepentingan, untuk berkontribusi dalam perdamaian. Serta, lanjut dia, memulihkan kondisi di Filipina Selatan. MNLF sendiri tak pernah meminta secara resmi, baik Indonesia atau negara lain anggota OKI untuk menengahi konflik.
Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Yohanes Legowo, mengatakan pemerintah pusat tak pernah menerima permintaan resmi dari MNLF untuk menjadi mediator atau penengah konflik. Sementara itu, Uni Eropa juga menyatakan kekhawatiran terhadap konflik di Zamboanga. Uni Eropa juga meminta faksi yang dipimpin Nur Misuari membebaskan warga sipil yang menjadi sandera.
Staf Humas Delegasi Uni Eropa untuk Filipina, Thelma Gecolea, mengatakan pihak dia mengutuk keras setiap tindakan kekerasan. Tindakan yang melanggar HAM dan hukum internasional di Zamboanga, khususnya kepada anak-anak dan perempuan. Delegasi Uni Eropa, di saat yang sama juga memuji Presiden Aquino atas komitmen untuk mencapai perdamaian di Mindanao.
''Kami mendesak suatu akhir tanpa syarat, penghentian segera kekerasan di Zamboanga dan pembebasan semua warga sipil,'' tutur Gecolea, Jumat (14/9).