Selasa 17 Sep 2013 19:19 WIB

Penasihat Hukum Terdakwa Simulator SIM Kritisi Pidato SBY

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri, Budi Susanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (10/9).
Foto: Adhi Wicaksono/Republika
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri, Budi Susanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (10/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat hukum Budi Susanto mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan terhadap kliennya, Selasa (17/9). Budi merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan driving simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011 di Korlantas Polri.

Dalam eksepsinya, penasihat hukum Budi menyoroti pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 8 Oktober 2012. Dalam pidato itu, SBY meminta kepada Mabes Polri untuk menyerahkan sepenuhnya proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan driving simulator pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

"Presiden secara langsung telah melakukan intervensi terhadap masalah hukum yang seharusnya berdiri sendiri dan independen," kata salah satu penasihat hukum Budi, Samsul Huda Yudha, saat membacakan surat eksepsi secara bergiliran di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Adanya pidato presiden itu, menurut penasihat hukum Budi, mengakibatkan Mabes Polri mengeluarkan surat pada 22 Oktober 2012 yang ditujukan kepada KPK. Surat itu berisi pelimpahan penanganan perkara simulator SIM pada KPK.

Yudha mengatakan, dengan adanya surat itu, maka Mabes Polri tidak lagi melakukan penyidikan atas perkara dugaan korupsi pengadaan simulator SIM. "Tidak dapat ditafsirkan lain, Mabes Polri sudah melakukan penghentian penyidikan," kata dia.

Penasihat hukum Budi menilai mekanisme pelimpahan dan penghentian penyidikan yang dilakukan Mabes Polri tidak dikenal dalam peraturan perundangan. Pun tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Apalagi yang menjadi salah satu dasar pertimbangan pengeluaran surat pelimpahan dari Mabes itu adalah pidato presiden. Penasihat hukum Budi menilai pidato presiden bukan suatu produk perundangan atau produk norma hukum. "Sehingga seharusnya tidak mengikat dan berpengaruh bagi Mabes Polri," kata Yudha.

Dengan ini, penasihat hukum Budi berkesimpulan proses penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan simulator SIM tidak dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Karena penyidikannya dianggap tidak benar, penasihat hukum Budi menilai surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap kliennya pun harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Penasihat hukum Budi juga sempat menjelaskan mengenai proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan driving simulator. Budi pernah menjadi tersangka di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.

Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) itu juga sempat menjalani penahanan selama 90 hari demi kepentingan penyidikan sejak 3 Agustus 2012. Budi juga menjalani pemeriksaan sebagai saksi mau pun tersangka.

Pada saat bersamaan, menurut penasihat hukum Budi, KPK juga menetapkan kliennya itu sebagai tersangka dalam perkara yang sama. Adanya pergerakan dua lembaga penegak hukum itu menimbulkan pertanyaan bagi penasihat hukum Budi.

Karena proses penyidikan perkara yang sama dilakukan oleh penyidik Bareskrim Polri dan penyidik KPK. "Apakah ini merupakan bentuk perlakuan khusus yang disengaja kepada terdakwa?," kata penasihat hukum Budi lainnya, Rufinus Hotmaulana Hutauruk.

Dalam surat dakwaan, Budi disebut bersama Irjen Pol Djoko Susilo, Didik Purnomo, Sukotjo S Bambang, serta Teddy Rusmawan didakwa telah melakukan perbuatan secara melawan hukum dalam pengadaan driving simulator tahun anggaran 2011.

Karena perbuatannya, Budi yang perusahaannya memenangkan proyek tersebut didakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Budi didakwa memperkaya diri senilai Rp 88,446 miliar. Perbuatan Budi disebut telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 144,984 miliar atau setidak-tidaknya Rp 121,830 miliar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement