REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Mahkamah Agung di Ibu Kota Bangladesh, Dhaka menolak pengaduan kembali terpidana Pemimpin Jamaat el-Islami, Abdul Quader Molla.
Alih-alih mengabulkan kasasi, persidangan, Selasa (17/9) waktu setempat itu malah meningkatkan hukuman seumur hidup terhadap Molla menjadi hukuman mati.
Jaksa Agung Bangladesh, Mohammad Ali mengatakan, pentolan kelompok oposisi itu sejak persidangan pengadilan bawah, telah terbukti melakukan berbagai kejahatan serius. Kata dia, laki-laki 65 tahun itu didakwa dengan pasal berlapis. Dari rencana pembunuhan sampai pembunuhan massal.
Aljazirah mengatakan, Molla menjadi nama pertama pelaku pembantaian massal di Bangladesh, sepanjang perang kemerdekaan dari Pakistan 1971 silam yang dipidana mati. Peradilan perdana terhadap Molla sudah putus sejak Februari 2013.
Belum dapat kepastian kapan eksekusi terhadap Molla. Akan tetapi desakan keras masyarakat sipil meminta pelaksanaan vonis dilakukan segera. Kelompok pendesak memang didominasi kalangan sekularis Bangladesh. Kelompok terakhir menentang keberadaan Islam sebagai paham politik.
Sebelum persidangan digelar, Aljazirah melaporkan kelompok ini bermalam di Alun-alun Dhaka. Ribuan diantara mereka bahkan mendirikan tenda untuk menginap menunggu persidangan. Mereka meyakini, putusan peradilan terhadap Molla adalah adil.'
'Molla digambarkan sebagai penjagal. Dia bertanggung jawab atas pembunuhan dan pembakaran desa-desa selama perang di Bangladesh,'' demikian tulis Aljazirah, Selasa (17/9).
Nama Molla bukan satu-satunya terpidana terkait pembunuhan massal semasa perang sipil di Bangladesh. Setidaknya ada empat nama petinggi Jemaat el-Islami yang sedang menjalani proses persidangan serupa.
Nama-nama tersebut terancam hukuman yang sama.Jemaat el-Islami adalah kelompok politik yang punya sayap militer. Kelompok ini besar di Dhaka dan punya afiliasi politik di pusat pemerintahan Pakistan di Islamabad.
Perang kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan, membuat kelompok ini menjadi ancaman revolusi. Jemaat el-Islami dituding melakukan pembantain terhadap lebih dari 300 ribu orang pendukung kemerdekaan. Versi lain mengatakan, korban menjadi 3 juta orang. Termasuk diantaranya perempuan korban perkosaan dan orang tua.
Perang 1971 salah satu catatan kekejaman paling buruk sepanjang sejarah.Pascakemerdekaan, Jemaat el-Islami dianggap berbahaya, tapi tidak dilarang perkembangannya. Hal tersebut memicu generasi baru penerus kelompok tersebut. Jemaat el-Islami menjadi wadah perjuangan politik berbasis agama terbesar di Bangladesh.
Vonis seumur hidup terhadap Molla Februari lalu, menjadi fakta masih kuatnya kelompok tersebut. Puluhan ribu pendukungnya menolak putusan peradilan dengan menguasai ibu kota. Massa tandingan membuat kekerasan pun terjadi.
Kerusuhan sepanjang Februari-Maret itu menewaskan tidak kurang dari 150 orang.Pada Agustus, Pemerintah di Dhaka meminta Pengadilan Tinggi Bangladesh mengeluarkan putusan terkait Jemaat el-Islami.
Peradilan memberi jawaban Jemaat el-Islami sebagai kelompok kejahatan dan terlarang. Ketua tim pembala Molla, Tajul Islam mengatakan, semua tuduhan terhadap Jemaat el-Islami adalah manipulasi politik. Tajul pun menanggapi putusan MA kali ini inkonstitusional. MA dikatakan dia tidak boleh menghukum lebih berat dari pidana sebelumnya. ''Ini adalah pertama kali di Asia Selatan,'' kata dia.