REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Real Estat Indonesia (REI) menganggap kebijakan Bank Indonesia (BI) mengenai larangan inden untuk kredit pemilikan rumah (KPR) kedua membahayakan. Hal tersebut dianggap dapat mematikan usaha para pengembang.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI, Setyo Maharso, mengatakan aturan ini dikeluarkan pada waktu yang tidak tepat karena tren pertumbuhan sektor properti diperkirakan melambat akibat kondisi ekonomi yang kurang stabil.
"Jika BI melakukan pengetatan maka tujuan BI untuk mengerem laju pertumbuhan properti malah kontraproduktif," ujar Setyo, Rabu (18/9).
Ia juga menilai transaksi di sektor properti didominasi KPR. Pengetatan pada KPR dikhawatirkan akan membuat usaha para pengembang terpukul karena naiknya harga bahan bangunan dan upah tukang. "Kebijakan dapat mematikan usaha para pengembang," ujar dia.
REI menilai larangan inden untuk KPR kedua tidak akan ampuh untuk mengerem para spekulan. Pembeli rumah melalui KPR umumnya untuk rumah tinggal, bukan untuk tujuan spekulatif.
"Pembeli akan rugi membeli properti lewat KPR jika tujuannya untuk aksi spekulatif. Apalagi bunga KPR sudah naik seiring naiknya BI Rate," ujar dia.
Spekulan juga tidak akan diuntungkan karena jika ia menjual lagi dalam waktu singkat, ia akan terkena pinalti dari bank penyalur KPR.
Untuk mencegah para spekulan dan pengembang nakal, REI meminta pemerintah untuk membina pengembang-pengembang. Pemerintah harus bersikap tegas dan meminta semua pengembang masuk asosiasi agar dapat diminta pertanggungjawaban.
Setyo mengatakan saat ini perbankan sudah mulai menyeleksi pemberian KPR hanya untuk anggota asosiasi. "Tinggal pemerintah yang harus memberikan aturan," ujar dia.
Setyo mengatakan REI akan mengirimkan surat kepada BI. "Kita mau ketemu dengan BI untuk membahas ini. Ini untuk masyarakat. Kita membantu pemerintah ciptakan rumah untuk masyarakat," ujar dia.
Sementara itu, beleid ini juga akan berpengaruh terhadap realisasi KPR inden pada perbankan.
Kepala Divisi KPR dan Morgage PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Tbk (BJB), Fermiyanti mengatakan aturan tersebut dapat mengurangi porsi pembiayaan KPR inden yang berasal dari kerja sama pengembang dengan BJB. Namun, saat ini porsinya masih kecil, yakni sekitar 13 persen.
Di sisi lain, aturan tersebut dinilai bermanfaat bagi konsumen. "Manfaat bagi konsumen tentunya terproteksi namun tentu harus mudah pula memperoleh KPR dari bank," ujar dia.
PT Bank Tabungan Negara, Tbk (BTN) sependapat bahwa pelarangan ini akan melindungi konsumen dari para developer nakal. BTN meyakini aturan tersebut tidak akan berpengaruh besar kepada kinerja BTN. "97 persen nasabah BTN adalah pembeli rumah pertama," ujar Wakil Direktur Utama Bank BTN, Evi Firmansyah.