PORT MORESBY -- Parlemen Papua Nugini (PNG) meloloskan peraturan yang menjadikan pemerintah negara itu sebagai pemilik tunggal tambang Ok Tedi, yang limbahnya merusak Sungay Fly, tahun 1980an dan 1990an.
Limbah dari tambang emas dan tembaga kontroversial yang dahulu dimiliki perusahaan BHP tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada sungai Fly pada tahun 1980an dan 1990an.
Pada tahun 2001, BHP menjual saham mayoritasnya di tambang tersebut pada PNG Sustainable Development Program. Sebagai imbalannya, BHP mendapatkan kekebalan hukum.
Tambang tersebut pun terus beroperasi. Hasil keuntungannya digunakan untuk mempromosikan pembangunan di komunitas-komunitas yang terkena dampak polusi tersebut.
Menurut O’Neill, keputusan untuk memberikan kekebalan hukum pada BHP merupakan keputusan buruk yang harus dikoreksi.
Ia menyatakan dalam pertemuan dengan parlemen bahwa perjanjian kekebalan hukum tersebut tidak adil, dan bahwa BHP Billiton harus bertanggung jawab atas limbah tambang yang mengalir di sungai.
“Peraturan yang tengah diajukan ini menghilangkan pengabaian bagi BHP Billiton, ini berarti pemilik lahan atau pihak lain yang terkena dampak bebas mengambil tindakan atau menegakkan hak mereka,” jelas O’Neill.
Sebelumnya, PNG Sustainable Development Fund (PNGSDP) memiliki 63 persen saham tambang tersebut dan sisanya dimiliki negara.
Namun, peraturan yang baru diloloskan ini membatalkan saham-saham yang dimiliki PNGSDP dan mengeluarkan saham-saham baru untuk negara, hingga negara sepenuhnya memiliki tambang tersebut.
O’Neill menyatakan bahwa pemerintah tidak mengambil saham-saham tersebut dan bahwa PNGSDP akan diberikan kompensasi.
Parlemen Papua Nugini juga meloloskan peraturan yang menjadikan BHP Billiton bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan akibat tambang OkTedi.
Menurut O’Neill, PNGSDP gagal menjalankan mandat pembangunannya dan masih dipengaruhi oleh BHP dalam operasinya.
Ketua PNGSDP, mantan Perdana Menteri Sir Mekere Marauta, berkata bahwa tindakan pemerintah merebut tambang dapat dikatakan sebagai pencurian.
“Ini adalah peraturan yang amat penting. Pertama kalinya mengambil alih aset dari masyarakat Papua Nugini, dan bukan dari pihak asing, tanpa pembayaran,” katanya.
Richard Zumoi, juru bicara untuk para pemilik lahan yang terkena dampak Ok Tedi, berkata pada Pacific Beat bahwa peraturan tersebut merupakan tamparan bagi mereka.
“Itu seolah-olah mencuri dari masyarakat Western Province,” katanya, “Mereka mengambil hak kita.”
Martyn Namorong, komentator politik PNG dan mantan peneliti OkTedi, berkata pada Pacific Beat bahwa menurutnya pemerintah PNG dapat dituntut setelah mengambil alih tambang tersebut.
“Ada kekhawatiran bahwa uang yang telah disimpan di dana jangka panjang untuk generasi selanjutnya di Western Province kini dapat terkena manipulasi politis,” komentarnya.
BHP Billiton menyatakan keyakinan mereka bahwa pemerintah PNG tidak dapat menuntut perusahaan tersebut atas kerusakan alam yang diakibatkan tambang yang kini bukan merupakan milik perusahaan.
Menurut perusahaan tambang besar ini, keputusan Pemerintah PNG membatalkan kekebalan hukum menunjukkan kurangnya kepercayaan dan menjadikan negara tersebut lokasi yang lebih beresiko bagi investasi.