REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana uji kelayakan dan kepatutan hakim agung setiap lima tahun sekali oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Saya lihat kok jadi kurang efektif. Kalau kita perbaiki sistem maka biayanya terlalu besar, tapi ya kita lihat saja yang terjadi dengan bobot pertanyaannya," kata Ridwan Mansyur, di Jakarta, Jumat (20/9).
Menurut Ridwan, uji kelayakan tersebut hanya akan mengulang proses yang sudah pernah dilakukan dan justru sangat riskan masuk dalam ranah politik, dalam menentukan siapa saja yang berhasil lolos tes uji kelayakan.
"Kalau misalnya pas dites lalu salah ngomong, kemudian disetop (diberhentikan) kan sangat sayang. Apalagi ini masuk dalam ranah politik. DPR bisa, kalau tidak suka, tidak diloloskan," tegas Ridwan.
Sementara Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri mengatakan lembaganya menyetujui adanya uji kelayakan. Hanya saja bukan melalui DPR karena tidak mewakili secara keilmuan.
"Kalau lewat keilmuan saya setuju, tapi kalau uji kelayakan di DPR kurang bagus karena politik," kata Taufiq.
Dia mengatakan proses uji kelayakan itu tidak melalui proses politik, tapi keilmuan yang merangkul ahli-ahli untuk mengujinya sehingga tidak terjadi tawar-menawar, proses politik lagi.
Dalam pemberitaan sebelumnya, dalam rapat Panja Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) di Komisi III DPR pada Kamis (5/9), mewacanakan uji kelayakan hakim agung secara berkala.