REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar meminta agar proses seleksi hakim agung di Komisi III DPR RI dihentikan terlebih dulu. Isu lobi di toilet sudah mencemarkan proses seleksi hakim agung tersebut.
"Seleksi hakim agung di DPR harus dihentikan sebab terdapat dugaan praktik transaksional di DPR. Selain itu kewenangan DPR sudah terlalu besar dengan selalu ikut menentukan hakim agung," kata Erwin di Jakarta, Sabtu, (21/9).
Sebenarnya, terang Erwin, ikut sertanya DPR dalam proses seleksi hakim agung menunjukkan adanya upaya DPR untuk memperluas kekuasaannya. Fungsi representatif menjadi tidak cocok dengan check and balance. "DPR mereview hakim-hakim agung hanya terdapat di Indonesia. Belum pernah ada negara lain yang melontarkan gagasan itu," ujar Erwin.
Dengan melakukan revisi terhadap Undang-undang MK, kata Erwin, DPR sudah mencoba memasukkan kepentingannya, termasuk ikut menyeleksi calon hakim agung. Padahal seharusnya kewenangan DPR itu hanya menyetujui calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial (KY), bukan ikut memilih mana hakim agung yang sebaiknya lolos.
KY, terang Erwin, dalam memilih calon hakim yang akan diajukan ke DPR sudah melakukan proses yang sangat ketat dan selektif. "Calon-calon yang disiapkan KY sudah mantab tapi malah dimentahkan oleh DPR yang memiliki kekuasaan terlalu besar, yakni punya hak memilih," terangnya.
Politik transaksional yang dilakukan DPR, ujar Erwin, banyak sekali bukan hanya dalam pemilihan hakim agung. Konsep RAPBN yang dibuat oleh doktor-doktor yang diajukan Bappenas bisa dimentahkan begitu saja kala diajukan ke DPR agar RAPBN dibuat berdasarkan kepentingan DPR yang bersifat transaksional.
Sebaiknya, kata Erwin, DPR jangan menjadi penentu pemimpin lembaga negara agar tidak ada lobi-lobi lagi yang menguntungkan mereka. MK harus berpikir progresif dan mau menerima usulan ini.
Memang, ujar Erwin, perkembangan kewenangan DPR pasca Reformasi begitu besar. Namun sayangnya, virus transaksional yang ada di berbagai parpol turut mencemari parlemen. Bahkan DPR dianggap salah satu lembaga terkorup.n dyah ratna meta novia