REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Pengadilan dalam menangani kasus tertentu hingga sekarang ini masih belum bersedia menggunakan Undang-Undang Pers sebagai landasan hukum. Alasannya undang-undang itu dinilai masih belum memiliki kejelasan standar operasional prosedur, kata seorang pakar.
"Di samping itu pengadilan juga belum tegas memberi sanksi kepada pelaku yang melakukan kekerasan terhadap pers," kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Mudzakkir, di Yogyakarta, Selasa (24/9).
Menurut Mudzakkir, untuk melindungi keselamatan kerja wartawan, Undang-Undang (UU) Pers perlu direvisi ulang untuk mempertegas posisi jurnalis ketika berhadapan dengan persoalan hukum.
"Setelah saya kaji, saya berkesimpulan bahwa persoalan yang sering dihadapi jurnalis ketika berhadapan dengan persoalan hukum memiliki kaitan dengan UU Pers yang belum memadai dalam memberi perlindungan," kata Mudzakkir.
Menurut dia, sejak UU Nomor 40 tentang Pers yang telah diratifikasi sejak 1999 hingga saat ini masih belum memuat ketegasan, misalnya berkaitan dengan batasan sasaran perbuatan yang dilarang untuk wartawan.
Di samping itu, kata dia, juga belum tegas memberikan aturan yang ketat bagi pihak yang hendak mendirikan perusahaan pers. "Konstruksi tindak pidana di bidang pers masih perlu disempurnakan dan harus jelas sasaran perbuatan yang dilarang," kata dia.
Selain itu, kata dia, dalam UU tersebut juga perlu diformulasikan kapan serta dalam hal bagaimana insan pers dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana, perdata, dan administrasi.