REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bank Indonesia (BI) menyatakan pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk melambat. Langkah itu dilakukan untuk mengendalikan laju inflasi dan memperbaiki transaksi berjalan.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi Johansyah, mengatakan secara historikal, tidak ada negara yang terus menerus pertumbuhan tinggi dengan inflasi rendah. Pertumbuhan membuat uang beredar mengalami peningkatan. Uang beredar menciptakan inflasi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga akan mendorong impor terutama barang modal dan bahan baku. Kondisi ini justru dapat menciptakan pembengkakan defisit transaksi berjalan yang hingga kuartal II-2013 telah mencapai 9,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS). "Kita mementingkan stabilisasi," ujar Difi dalam diskusi panel mengenai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, Rabu (25/9).
Ia mengatakan, Indonesia memiliki potensi untuk memiliki pertumbuhan yang tinggi, tetapi Indonesia tidak bisa melaju lebih kencang lagi. "Kalau melebihi akan terguncang-guncang. Sejarah di ekonomi Indonesia, tiap tumbuh tinggi, impor naik, inflasi naik, current account deficit meningkat," ujar dia.
Menurut Difi, pertumbuhan dapat dioptimalkan hingga diatas 6 persen. Syaratnya adalah pembenahan infrastruktur. Selain itu, produktivitas tenaga kerja harus ditingkatkan.
Pemerintah juga harus membenahi sektor riil. Semua itu dilakukan untuk membalikan transaksi berjalan dari defisit menjadi surplus.
Kondisi transaksi berjalan yang defisit ini menekan nilai tukar rupiah. "Beruntung The Fed masih melanjutkan stimulus ekonominya sehingga arus investasi asing tetap di Indonesia untuk menutupi defisit transaksi berjalan. Tapi kita tidak boleh terlena, kan kebijakan itu (pemotongan stimulus) pasti akan dilakukan," ujarnya.