REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana berharap Pemerintah Indonesia tidak 'menjual' Indonesia dan tunduk pada kepentingan Pemerintah Australia.
"Menjelang kedatangan PM Tony Abbot pada 30 Oktober mendatang, Presiden hendaknya tidak 'menjual' Indonesia dan tunduk pada kehendak PM Tony Abbott yang membawa suara dan kepentingan rakyat Australia," kata Hikmahanto di Jakarta, Kamis (26/9).
Hikmahanto mengatakan, Presiden tentu harus bersikap sopan sebagai tuan rumah. Namun, tetap harus tegas dan tidak menenggang rasa ketika ada permintaan Abbott yang bersinggungan dengan Konstitusi dan Kedaulatan Indonesia.
Guru Besar Hukum Internasional itu merujuk pada permintaan Abbott agar Indonesia menyelesaikan masalah pencari suaka dan pengungsi sementara Australia dengan menggelontorkan uang. Ia menilai permintaan itu wajib ditolak.
"Demikian pula bila kapal-kapal nelayan yang membawa pencari suaka dan pengungsi ditolak oleh AL Australia dan dikawal untuk masuk kembali perairan Indonesia juga wajib ditolak," katanya.
Ia menilai penyelesaian pencari suaka dan pengungsi sebagaimana diusulkan Presiden SBY harus didasarkan pada kerja sama negara-negara terkait. Australia sebagai negara tujuan, Indonesia sebagai negara transit dan negara-negara asal pencari suaka dan pengungsi.
Presiden, menurut dia, juga harus waspada untuk tidak melakukan barter antara masalah pencari suaka dengan kebijakan pemerintah Australia untuk memotong dana bantuan luar negeri.
"Jangan sampai Presiden terkecoh dengan iming-iming tidak dipotong dana bantuan sepanjang Indonesia mau menjadi ladang pembantaian terhadap para pencari suaka dan pengungsi yang menuju Australia," katanya.
Ia menilai sudah waktunya Indonesia merebut kedaulatannya kembali. Ia mneyebut oleh sejumlah negara termasuk Australia bantuan dana (aid assitance) telah dijadikan alat untuk melakukan intervensi atas kedaulatan Indonesia.