REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) Yenny Wahid mengatakan, maraknya kejadian intoleransi sosial, seperti konflik antarpemeluk agama, disebabkan lemahnya pemimpin dalam mengayomi masyarakat.
"Sembilan tahun The Wahid Institute berjalan, dari berbagai kasus yang dianalisis, faktor kepemimpinan sangat mempengaruhi bagaimana sebuah intoleransi di masyarakat terjadi dan merembet pada kasus yang lebih besar," kata Yenny di Jakarta, Kamis (26/9).
Ia menambahkan, setiap pemimpin, baik di tingkat daerah mau pun nasional, seharusnya mengimplementasikan Bhineka Tunggal Ika. Serta mengamalkan falsafah kebersamaan dalam sebuah perbedaan kepada warganya.
Hal itu menjadi jaminan yang harus diberikan oleh pemimpin mengingat perbedaan suku, agama dapat menjadi hal yang sangat sensitif jika tidak dikelola dengan baik. "Di situ posisi pemimpin, harus menjamin suasana perbedaan selalu sejuk," ujar puteri Abdurrahman Wahid (Gus Dus) tersebut.
Ia berpendapat, pemeluk agama kadang terjebak dalam militansi atas nama satu keyakinan. Sehingga menganggap perbedaan paham dengan kelompok lain adalah sesuatu yang harus disimpulkan siapa yang benar dan yang salah. "Militansi beragama hanya harus dipertahankan dalam konteks personal, antara dirinya dengan Allah SWT," kata dia.
Konsep pemikiran agama, katanya harus dibungkus dengan perilaku yang dapat mengayomi kehidupan bermasyarakat. "Dogma-dogma tidak selalu dapat menyelesaikan masalah, hal itu perlu diketahui," ujarnya.
Dia juga berharap kasus bernuansa agama di Sampang, Madura agar cepat selesai dan setiap anggota masyarakat dapat hidup damai dan rukun.