REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Priyantono Oemar
Hawa dingin merebak. Kabut menyelimuti sekitar, mengawali hari yang sangat indah. Kami sekarang berada di tanah budaya Bada, dengan desa-desa yang tersebar. Riuh pukulan fuya dari segala penjuru terdengar lucu, menjadi ciri khas Tanah Toraja, mengingatkan pada suasana di Polinesia.
(Paul Savarin dan Fritz Savarin, Reisen in Celebes vol 2, 1905)
Deskripsi lanskap di Kulawi, Lembah Bada, ini saya dapatkan dari buku Reisen in Celebes (Perjalanan di Sulawesi). Saya meminta bantuan dua orang untuk menerjemahkannya. Savarin tiba di Kulawi pada 12 September 1902.
Saya mendapat bantuan dari Annisa Nugraheni (keponakan yang baru delapan bulan studi di Jerman) dandari Friska Yolandha (rekan kerja di kantor, lulusan Sastra Jerman Universitas Padjadjaran) dalammenerjemahkannya. Ini naskah aslinya:
Früh morgens machte sich Kälte fühlbar, Nebel bedeckte die Gegend, der bald dem herrlichsten Tage wich. Wir befanden uns jetzt im Kulturland von Bada, und es folgte sich Dorf auf Dorf, nach allen Richtungen verteilt; von überall her tönte das melodische Fujaklopfen lustig in verschiedenen Tonhöhen, das Kennzeichen der Toradjalande, ein polynesischer Anklang.
Semula Savarin dan Savarin diberi tahu bahwa Kulawi adalah desa yang kumuh. Ia pun dicegah pergi ke sana. Tapi, ia menemukan keindahan dari sudut pandang yang berbeda.
Kini, suasana yang digambarkan Savarin itu tentu sudah susah didapati di Lembah Bada lagi. Tak banyak lagi pembuat kain kulit kayu yang memunculkan suara pukulan bersahutan dari berbagai penjuru.
‘’Di Kulawi tinggal lima orang,’’ ujar Tobani Tiku tentang pembuat kain kayu di desanya kini, Desa Mataue.
‘’Di Gumbasa ada 10 orang,’’ sambung Farida, pembuat kain kulit kayu dari Pandere.
Mataue terletak di Kecamatan Kulawi, Pandere terletak di Kecamatan Gumbasa. Keduanya berada di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jarangnya pembuat fuya, membuat gambaran Savarin tentang ‘’musik fuya’’ Kulawi tak lagi terdengar seperti dulu.
Fuya/vuya adalah nama populer di dunia internasional untuk menyebut kain kulit kayu dari Indonesia. ‘’Diambil dari wuyang, nama kain sarung perempuan Minahasa,’’ tulis Raymond Kennedy di Journal of Polynesian Society volume 43 tahun 1934, mengutip Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie terbitan tahun 1917.
Dengan nada yang berbeda, melodi ‘’musik fuya’’ bisa didengarkan di Desa Kinal, Kecamatan Padang Guci, Kabupaten Kaur (pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan). Itu pun jika tidak sedang panen sawit. Musim panen sawit yang bisa mencapai empat bulan, membuat pembuat kain kulit kayu di Kinal memilih memanen sawit.
Jika tak ada panen sawit, laki-laki dan perempuan di Kinal bahu-membahu memukul kulit kayu lantung untuk dijadikan kain. ‘’Ada sekitar 20 keluarga di Kinal yang tiap hari pukul-pukul membuat kain kulit kayu lantung,’’ ujar Tentrem Sriminarsih, pengusaha kecil-menengah kain kulit kayu dari Bengkulu.
Ekonomi kreatif
Menggeluti usaha yang berkaitan dengan kain kulit kayu, membuat Sriminarsih mendapat ganjaran Upakarti Bidang Kepeloporan 2010 dari pemerintah dan penghargaan Citi MicroentrepreneurshipIndonesia 2012. Kini ia sedang menunggu pengumuman penghargaan tingkat ASEAN. Ia masuk nomine UKM Terinovatif ASEAN.
Sriminarsih memproduksi beragam barang berbahan dasar kalin kuit kayu pohon lantung (Artocarpus elasticus). Di Sunda disebut pohon teureup, di Jawa disebut pohon bendo. Kopiah dari kain kulit kayu lantung yang ia buat dibeli besan Sultan Hasanal Bolkiah ketika ia mengikuti pameran di Brunei Darussalam. ‘’Dibeli sedesain-desainnya, karena katanya mau dijadikan hadiah ulang tahun Sultan,’’ ujar Sriminarsih.
Pohon lantung tumbuh liar di Bengkulu. Semula hanya dijadikan kayu bakar oleh penduduk. Sriminarsihjuga memasok produknya ke Kalimantan dan Papua. Pengusaha kecil dari Papua, Agustinus Ongge, yanghadir di acara diskusi kain kulit kayu di Museum Tekstil Jakarta awal September 2013, mengaku mulai berwirausaha kain kulit kayu. Ia memesan kain kulit kayu dari Bengkulu, karena di Papua susah mendapatkan kain kulit kayu.
Sriminarsih sudah 13 tahun mengembangkan produk usaha kecil berbahan kain kulit kayu. Ada tas, topi, rompi, bahkan sepatu. Pada 17 Oktober lalu ia berangkat ke Iran untuk mengikuti ‘’Pameran 1.000 Tahun Hubungan Bugaya Indonesia-Iran’’ di Teheran. ‘’Barang habis. Sampai-sampai Pak Dubes meminta saya buka gerai di Iran. Orang-orang pada kaget kulit kayu bisa dibikin macem-macem,’’ ujar Sriminarsih tentang produk yang ia bawa ke Iran, Jumat (27/9)
Ia bercita-cita tas dan sepatu kain kulit kayu mendunia. Selama ini, pasar luar negeri memang lebih menerima produknya daripada pasar lokal. ‘’Saya bisa berangkat ke Makkah ketika produk dari kain kulit kayu saya laku habis di pameran di Ukraina. Ayo adik-adik, untuk berani memulai berwirausaha,’’ ujar Sriminarsih, memotivasi para mahasiswa yang hadir di acara diskusi kain kulit kayu di Museum Tekstil.
Ia beruntung ‘’memiliki’’ Dewi Motik dan Rahardi Ramelan yang rajin mengkritik dan memberi masukan soal desain yang disenangi konsumen masing-masing kawasan. Ketika pameran di Beijing, ia langsung mendapat order untuk memasok ke swalayan di 23 provinsi di Cina. Tetapi, ia belum bisa menyanggupi permintaan itu karena terkait soal pasokan bahan baku.
Persoalan pasokan bahan buka bukan pada masalah ketersediaan pohon, melainkan pada terbatasnya pembuat kain kulit kayu. Keterbatasan tenaga pembuat kain kulit kayu ini juga terjadi di Sulawesi Tengah. Pembuatnya rata-rata sudah nenek-nenek. Farida, pembuat kain kulit kayu di Pandere, mengaku sebagai yang termuda dengan usia 54 tahun. Sedangkan Tobani berusia 72 tahun.
Di Sulawesi Tengah, pembuatan kain kulit kayu masih terkait dengan kepentingan adat. Dorongan pemanfaatan kulit kayu untuk kepentingan ekonomi kreatif telah muncul di Sulawesi Tengah.
Di hutan penyangga Taman Nasional Lore Lindu ada 18 jenis kayu yang bisa dimanfaatkan warga untuk bahan kain kulit kayu. ‘’Kerajinan kain kulit kayu sebagai usaha ekonomi kreatif memiliki pasar potensial yang sedang tumbuh dan harga jualnya cukup tinggi,’’ ujar Yusak Mangetan, ketua Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Poso Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu.
Peneliti etnobotani Pusat Penelitian Biologi LIPI Mulyati Rahayu menyebut ada 290 jenis tumbuhan penghasil serat di Indonesia. Ini potensi besar yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi kreatif. ‘’Sebanyak 72 jenis sebagai penghasil utama serat, 112 jenis lagi sebagai penghasil sekunder,’’ ujar Mulyati di Museum Tekstil Jakarta.
Karenanya, anak muda di Sulawesi Tengah didorong untuk menguasai pembuatan kain kulit kayu. Prof Isamu Sakamoto --peneliti kain kulit kayu dari Jepang-- pun berniat membuat proyek restorasi di Sulawesi Tengah. Tujuannya agar ada generasi baru pembat kain kulit kayu, menggantikan generasi pembuat kain kulit kayu saat ini yang sudah nenek-nenek.
Tapi, seniman Palu, Zulkifly Pagessa, merasa perlu mengingatkan agar tidak terlalu banyak menyertakan ornamen modern di kain mereka. ‘’Banyak yang memberikan ornamen modern, seperti manik-manik, sehingga menghilangkan kesan etnik di kain kulit kayu itu,’’ ujar Zulkifly.
Kini, pemakai baju dari kain kulit kayu di Sulawesi Tengah sudah tidak ada, kecuali di acara-acara adat.‘’Di acara adat, anak-anak muda pakai baju pemberian dari yang tua-tua,’’ ujar Tobani.
Melodi Polinesia
Tobani membuat kain kulit kayu dari pagi sampai sore. Istirahat untuk makan siang dan disudahi pukul 17.00. Ia memberi contoh kepada saya cara memukul dalam pembuatan kain kulit kayu itu. Pukulan pertama kali, ayunannya cukup tinggi. Tapi, ketika kulit kayu sudah melebar, pukulannya dengan ayunan yang tipis sehingga tidak merusak kainnya. Irama yang dimunculkan tentu berbeda dengan irama pukulan di awal-awal.
Ukuran kain sepanjang tiga meter diselesaikan Tobani dalam waktu sebulan. Kalau tak ada halangan, bisa dua-tiga minggu. Tapi seringnya selalu ada halangan yang membuat ia harus istirahat dulu, mislanya jika ada orang hajat atau berduka. Kalau ada orang berhajat, Tobani paling hanya istirahat sehari, untuk membantu tetangga yang berhajat itu.
‘’Kalau ada duka, istirahatnya bisa sembilan hari,’’ ujar Tobani. Di Kulawi, kata Tobani, jika ada duka perempuan berpantang bekerja selama sembilan hari, dan laki-laki berpantang tujuh hari.
Di Pandere, kata Farida, pantangannya cuma sabun. Selama membuat kain kulit kayu, tak boleh mandi dengan sabun. ‘’Sabun bisa merusak kainnya,’’ ujar Farida.
Sebenarnya, bukan sabun saja yang merusak kainnya. Kain kulit di Pandera dibuat tanpa direbus lebih dulu, sehingga jika kena air, kain kulit kayu itu bisa rusak.
Untuk membuat kain kulit kayu, mereka meletakkan kulit kayu di atas batang kayu kemudian memukul-mukulnya. ‘’Jika kita berjalan melewati desa di Tonga, maka akan terdengar suara ‘’kon, kon’’, yaitu suara palu yang dipukulkan untuk membuat kain tapa,’’ ujar Prof Shigeki Fukumoto, peneliti kain kain kui kayu Polinesia. Tapa adalah sebutan kain kulit kayu di Polinesia.
Sewaktu Fukumoto berkunjung ke Tonga, para perempuan sedang membuat kain tapa. ‘’Memukul dengan irama perkusif yang tersinkopasi dengan harmonis,’’ ujar dia. Sinkopasi adalah istilah musik untuk menyebut pergeseran aksentuasi ritmik.
Perempuan Polinesia, kata Fukumoto, mengenali dengan baik bunyi alas pembuat kain tapa milik mereka sendiri. Kayu alas untuk membuat kain tapa itu dikosongkan bagian dalamnya. Tujuannya untuk mempertajam bunyi pukulan.
‘’Direktur Museum Bishop di Hawaii, WT Brighams, ketika berjalan-jalan ke Pulau Oahu, mengadakan kunjungan mendadak ke sebuah desa dan kabar tersebut segera disebarluaskan ke desa-desa lain di pulau tersebut menggunakan kode morse yang dibuat dengan alat pemukul kain tapa,’’ ujar Fukumoto.
Di Bengkulu, tiap hari --jika tak lagi musim panen sawit-- laki-laki ataupun perempuan bekerja sama membuat kain kulit kayu. Irama gebukan memenuhi Kinal –meski tak semerdu dengan yang di Kulawi maupun di Polinesia, karena kayu alasnya tak dibuat untuk menghasilkan bunyi yang nyaring.