REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Kementerian Perikanan dan Kelautan RI mengklaim metode tradisional nelayan dapat mengungtungkan. Sebab, mereka dinilai lebih paham kondisi laut di wilayahnya masing-masing.
Kepala Badan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Perikanan dan Kelautan RI, Suseno Sungkoyono mengatakan, alat serta metode yang dianggap sederhana itu, justru menguntungkan dalam beberapa hal.
"Hasil tangkapan mereka pun tidak menjadi masalah," kata Suseno usai membawakan materi seminar di Universitas Airlangga, Selasa (1/10).
Namun, dia menambahkan, budidaya laut memang masih dinilai rendah pemanfaatannya. Dari total luasan 12,55 juta hektare, baru sekitar 117,649 hektare, atau 0,94 persen yang berhasil dikelola. Alasannya, asumsi masyarakat lebih pada pemberdayaan darat sehingga potensi laut tidak diminati.
Selama 5 tahun terakhir mulai dari 2006 hingga 2011, kegiatan penangkapan ikan memang cenderung statis yakni dari 90,0 juta–93,5 juta per ton per tahun. Namun produksi dalam budidaya ada peningkatan signifikan dari 47,3 juta–62,7 juta per ton.
"Untuk dapat memikat masyarakat menggali potensi laut, perlu dilakukan blue economy," ujarnya.
Konsep blue economy sendiri, kata dia, melibatkan unsur industri dalam pengelolaan hasil alam perairan. Jadi, tangkapan laut, atau budidaya tambak tidak serta merat berakhir sebagai hidangan di rumah makan atau pasar, namun mempunyai nilai ekonomis dengan menjadikan konsumsi kemasan. "Sampah produksi laut pun dapat bermanfaat," katanya.