REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pakar Hukum Pidana Chairul Huda menyatakan kemungkinan terjadi jual beli pasal dalam penerapan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena, ia menilai telah terjadi duplikasi rumusan delik pasal dalam undang-undang tersebut.
Chairul merujuk pada Pasal 5 ayat 2 dengan Pasal 12 huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji.
Chairul berpendapat, delik dalam kedua pasal tersebut sama persis. Tetapi, dibuat dalam pasal yang berbeda. "Pemahaman rumusan delik ini memungkinkan terjadinya jual beli pasal," kata dia, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (2/10).
Menurut Chairul, Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 12 huruf a dan b mempunyai delik yang sama. Akan tetapi, ancaman hukuman pidananya berbeda. Pasal 5 ancaman maksimumnya pidana lima tahun penjara. Sedangkan pada Pasal 12 hukuman seumur hidup. Ia berpendapat, adanya satu perbuatan yang diatur dengan dua ketentuan pidana ini bisa menimbulkan ketidakadilan. "Orang bisa diperlakukan tidak sama," kata dia.
Chairul mencontohkan, penerima suap yang berlaku kooperatif bisa dikenakan ketentuan pidana yang lebih ringan hukumannya. Sedangkan bagi penerima suap yang tidak mengakui perbuatannya atau membela diri bisa dikenakan ketentuan pidana yang lebih berat. Inilah, kata dia, yang berpotensi mengakibatkan terjadinya jual beli pasal. Karena telah terjadi duplikasi rumusan pasal pada satu perbuatan pidana yang sama.
Dalam persidangan di MK ini, Chairul menjadi saksi yang dihadirkan pemohon. Mantan anggota DPR Zulkarnaen Djabar merupakan pemohon dalam gugatan ini. Ia merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan diterapkannya Pasal 12 UU Tindak Pidana Korupsi. Zulkarnaen divonis 15 tahun penjara dengan pasal tersebut di Pengadilan Tipikor ketika menjadi terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan laboratorium dan penggandaan Al-Quran di Kementerian Agama tahun anggaran 2011-2012.