REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) kembali menemui jalan buntu. Forum lobi yang digelar DPR dan pemerintah Selasa (1/10) malam, belum juga menghasilkan kata sepakat mengenai beberapa pasal krusial yang terdapat pada RUU tersebut.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Agoes Poernomo mengatakan, belum ada titik temu antara parlemen dan pemerintah soal mekanisme pemilihan bupati dan wali kota.
Usulan Kementerian Dalam Negeri (wakil pemerintah) agar keduanya dipilih DPRD, mendapat tanggapan yang beragam dari fraksi-fraksi di komisi yang membidangi urusan dalam negeri.
"Jadi, permasalahan ini masih belum selesai," ujar Agoes saat dihubungi Republika, Rabu (2/10).
Meskipun demikian, kata dia, pertemuan yang berlangsung selama dua jam di Hotel Aryaduta Karawaci Tangerang itu sedikit banyaknya membawa perubahan terhadap pemetaan lobi politik RUU tersebut.
Fraksi Partai Demokrat dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) masih bertahan dengan sikap mereka sebelumnya, yakni menyetujui usulan pemerintah.
"Sementara fraksi-fraksi lainnya tetap menginginkan agar bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat, kecuali Fraksi Partai Golkar yang sekarang sepertinya lebih moderat," bebernya.
Kendati belum ada kata sepakat, Agoes menambahkan, pimpinan Komisi II berharap jangan sampai persoalan ini diputuskan lewat voting di paripurna.
Saat dikonfirmasi wartawan, Ketua Komisi II DPR yang juga anggota Fraksi Partai Golkar, Agun Gunanjar menyatakan, fraksinya siap menerima sistem apapun yang bakal diterapkan untuk pemilihan bupati/ wali kota ke depan.
"Pada prinsipnya, mau dipilih langsung oleh rakyat atau lewat DPRD, kami oke-oke saja. Semuanya tergantung hasil lobi. Hanya, Golkar memang belum mengambil keputusan karena banyak fraksi yang belum siap," tuturnya.
Ia berpendapat, setiap sistem memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun di luar itu, Golkar menginginkan agar sistem mana pun yang disepakati nantinya, benar-benar diterapkan secara konsisten.
Sebagai contoh, pemilihan kepala daerah secara langsung jelas membutuhkan biaya politik yang besar. Sebab, menjadi tidak wajar bila kemudian ada fraksi yang menginginkan agar pendanaan kampanye calon bupati/ wali kota dibatasi.
"Harusnya, kalau setuju dengan sistem langsung, jangan ada pembatasan dana kampanye //dong//. Itu nggak konsisten namanya," ujarnya.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Abdul Hakam Naja mengatakan, fraksinya masih perlu mendalami lagi usulan pemerintah.
Menurut dia, berbagai ekses yang ditimbulkan oleh pilkada langsung sejauh ini memang layak dipertimbangkan.
"Di antaranya adalah maraknya praktik money politic dalam pilkada, serta banyaknya kasus hukum yang menjerat kepala daerah akibat biaya politik yang mahal. Semua itu masih kami kaji di fraksi," ujarnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan menuturkan, pemerintah dan DPR sebelumnya telah bersepakat, gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat.
"Namun, untuk mekanisme pemilihan bupati dan wali kota, pembahasannya masih berjalan alot sampai hari ini. Meski usulan kami sudah mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI," katanya.
Tidak itu saja, menurut dia masih ada beberapa isu krusial lainnya dalam RUU Pilkada yang hingga kini juga belum ada titik temunya. Di antaranya adalah mengenai satu paket atau tidaknya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Sejauh ini, semua fraksi sepakat keduanya dipilih dalam satu paket. Sementara, Kemendagri menginginkan agar wakil kepala daerah ditentukan atau ditunjuk saja oleh kepala daerah terpilih. "Karenanya, lobi-lobi politik RUU ini masih akan berlanjut nantinya," tuturnya.