REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kecurigaan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang apopulis dikhawatirkan berpotensi mengurangi tingkat partisipasi dalam pemilu. Alasannya, kebijakan seperti kerja sama dengan lembaga asing, atau lembaga yang rawan dimanfaatkan penguasa rentan menimbulkan kecurigaan terhadap penyelenggara pemilu.
"Terutama bila kebijakan itu terkait kepada inti pemilu yaitu tentang keamanan data dan independensi penyelenggara. Itu sangat berpengaruh pada partisipasi masyarakat terhadap pemilu," kata Deputi Direktur Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, di Jakarta, Rabu (2/10).
Masykurudin menilai, penyelenggara pemilu perlu mengevaluasi semua langkah yang telah mereka ambil. Masalahnya, kebijakan yang tidak populer bisa memicu ketidakpercayaan terhadap pelaksana dan pelaksanaan pemilu. Sehingga partisipasi turun, padahal partisipasi pemilu di Indonesiaa sudah rendah.
Pada dasarnya, lanjut Masykurudin, pemilu harus diketahui secara luas tidak hanya oleh penyelenggara saja. Tetapi juga masyarakat pemilih. Kepastian keterbukaan tersebut penting untuk saling menjaga bahwa proses pelaksanaan berjalan sesuai dengan kehendak semua.
"Semakin terbuka proses penyelenggaraannya maka akan semakin meningkatkan rasa memiliki terhadap pemilu. Peningkatan rasa kepemilikan secara otomatis akan meningkatkan partisipasi dalam pemilu," ujarnya.