REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI Eva Kusuma Sundari menyatakan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan tragedi nasional dalam posisi Indonesia sebagai negara hukum.
"Kita sangat menyesalkan dan 'shock'. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum yang selama ini integritasnya paling tinggi, berantakan setelah KPK melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap Ketua MK," katanya ketika dihubungi dari Semarang, Kamis.
Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mengemukakan hal itu setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, dan pengusaha CN (Cornelius) di rumah AM, kompleks Widya Chandra III No. 7, Jakarta Selatan, Rabu (2/10) malam.
Menurut dia benteng terakhir kepercayaan masyarakat terhadap hukum ikut rontok dan ini potensi memunculkan masyarakat anarkis sehingga harus ada konvensi di antara individu-individu dari penegakan hukum dan DPR RI untuk mencegah hal tersebut terjadi.
"Saya memang lama mendengar selentingan-selentingan tidak sedap berkaitan dengan putusan-putusan kontroversial MK terhadap sengketa-sengketa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah," ucapnya.
Ia lantas mencontohkan PDI Perjuangan menjadi korban putusan MK dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali. Pada saat itu, Ketua MK Akil Mochtar membenarkan orang memilih ratusan kali di Desa Tugu, Kabupaten Karang Asem.
Contoh lainnya, lanjut dia, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
"Kotak suara sudah dibawa ke MK agar dihitung ulang, tetapi alasan terlambat sehari membuat pemohonnya harus dikalahkan. Padahal, waktu sidang 14 hari masih tersisa dua hari," katanya.
Oleh karena itu, Eva memandang perlu sengketa pilkada yang selisih suaranya tipis, putusan Ketua MK harus di-"review" karena ada keluhan MK menggunakan sistem lelang yang tentu jauh dari metode penegakan hukum yang mendasarkan diri pada fakta dan bukti yang ada.
"Meski kita terbentur pada aturan putusan MK yang bersifat final dan mengikat (binding), setidaknya kita sedang menyaksikan bahaya dan risiko posisi MK tanpa kontrol sehingga 'check and balances' tidak berlaku atau diterapkan," katanya.
Eva yang juga calon anggota DPR RI periode 2014--2019 asal Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Kabupaten/Kota Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten/Kota Blitar) berharap agar Majelis Kehormatan MK tidak hanya memeriksa kasus OTT, tetapi juga putusan-putusan yang kontroversial yang lain.
Ia memandang perlu Majelis Kehormatan juga memeriksa sistem yang berlaku dan merekomendasikan perbaikan-perbaikan sehingga kelak tidak memungkinkan lagi untuk dimanipulasi perorangan plus pelembagaannya yang melibatkan pihak-pihak lain.
Standar operasional prosedur (SOP) yang lemah, termasuk tiadanya mekanisme internal kontrol pelaksanaan kode etik, menurut Eva, juga harus jadi fokus pemeriksaan untuk perbaikan.