REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi merosot menyusul ditangkapnya pimpinan lembaga peradilan tersebut, Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (2/10) malam.
“Ini sangat kami sesalkan,” kata Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Asep Rahmat Fajar, Kamis (3/10). Ia menuturkan, sampai saat ini tidak ada lembaga eksternal yang berfungsi menjalankan pengawasan terhadap hakim-hakim konstitusi di MK. Padahal keberadaan institusi tersebut jelas sangat dibutuhkan.
Sementara, lembaga pengawas kehakiman seperti KY tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi MK, karena memang dibatasi oleh undang-undang. Menurut Asep, KY sendiri sejak awal sudah memiliki pemikiran, lembaga yang memiliki posisi strategis seperti MK haruslah memiliki lembaga pengawas eksternal.
Hal ini ditujukan semata-mata untuk mengawal kinerja dan etika hakim konstitusi agar tetap optimal dan terjaga. “Namun demikian, untuk bisa mewujudkan gagasan tersebut, perlu ada perubahan aturan/UU terlebih dulu,” ujarnya. Bila regulasi tentang lembaga pengawas eksternal MK ini sudah terbentuk, kata Asep lagi, KY siap diberi amanah untuk menjalankan tugas tersebut.
Seperti diberitakan, KPK menangkap Akil Mochtar di rumah dinasnya di Jl Widya Chandra III No 7 Jakarta, Rabu (2/10) malam, karena menerima suap senilai Rp 3 miliar. Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, uang tersebut diduga kuat memiliki kaitan dengan perkara sengketa Pilkada Gunung Mas 2013 yang tengah ditangani Akil.
Selain Ketua MK tersebut, KPK juga menangkap anggota DPR dari Fraksi Golkar, Chairunnisa (CHN) dan seorang pengusaha berinisial CN di tempat yang sama. Keduanya diketahui sebagai pemberi suap dalam kasus ini. Sementara di lokasi lainnya, penangkapan dilakukan KPK di Hotel Red Top, Jakarta Pusat, terhadap dua orang lagi yang diduga juga terlibat. Mereka adalah Bupati Gunung Mas petahana Hambit Bintih (HB) dan pria berinisial DH.