PERTH -- Organisasi lingkungan Greenpeace menuding 24 negara bertanggung jawab atas penurunan jumlah tuna besar besaran di dunia akibat industri perikanan.
Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Amerika Serikat, Eropa dan Filipina merupakan negara negara pemain besar terkait eksploitasi tuna di Pasifik.
Negara negara itu baru saja kelar berunding selama lima hari di Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat di Pohnpei, Negara Federasi Mikronesia.
Para perwakilan resmi negara itu mengkaji soal tindakan konservasi terbaru untuk perlindungan tiga spesies ikan tuna yakni jenis sirip kuning, mata besar dan skipjack.
Juru Kampanye Lautan Greenpeace, Duncan Williams, yang berada di Pohnpei mengungkapkan bahwa masalah terbesar adalah kapal kapal itu tidak untuk bertanggung jawab untuk menyediakan data penting.
“Kami mendengar kapal kapal teresbut tidak memberikan informasi mendasar seperti data lokasi,” katanya kepada Radio Australia's Pacific Beat.
“Jadi cukup mengkhawatirkan mendengarkan rekam jejak penangkapan selama beberapa tahun dengan sejumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi di Pasifik,” tambah Williams.
Menurutnya kapal kapal itu perlu diawasi, khususnya bagi kapal pemancing jarak jauh yang harus punya kewajiban mendasar untuk mensuplai data kepada komisi agar mereka bisa mengatur perikanan secara tepat dan efektif.
Sebelumnya sempat ada kesepakatan mengenai batasan tangkapan tuna di wilayah Pasifik di bawah perjanjian interim yang lemah.
William mengatakan kalau hal itu “sangat mendesak dan penting” buat negara negara anggota menyepakati tindakan konservasi dalam pertemuan komisi pada Desember mendatang di Cairns, Australia.
“Pertemuan komite sains yang digelar Agustus tahun ini menunjukan terdapat penurunan yang signifikan dalam perikanan,” ungkapnya.
“Tidak ada penilaian persediaan yang dilakukan tahun ini, tapi indikasi dari inti dari pertemuan komite sains terkait penurunan signifikan pada jenis mata besar sangat mengkhawatirkan,” tutupnya.