REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu "dibersihkan" dari unsur partai politik walaupun ada kejadian penangkapan Ketua MK Akil Mochtar dalam kasus dugaan gratifikasi terkait Pilkada di Kalimantan Tengah.
"Saya rasa MK tidak perlu sampai 'dibersihkan' dari unsur partai politik hanya karena ada kejadian penangkapan Ketua MK ini. Semua itu tergantung masing-masing pribadi untuk berkomitmen melakukan tugas dengan jujur begitu masuk MK," kata Melani saat ditemui di Gedung Nusantara III DPR di Jakarta, Jumat.
Menurut Melani, setiap aparat penegak hukum yang sudah terpilih untuk bertugas di lembaga hukum memang seharusnya melepaskan diri dari pengaruh partai politik karena aparat tersebut harus mengabdi kepada masyarakat.
"Kalau mereka para hakim konstitusi sudah berkomitmen, begitu masuk MK mereka harus melepas artribut parpol maka hal seperti kasus AM (Akil Mochtar) ini tidak perlu terjadi," katanya.
Ia mencontohkan Mahfud MD yang dinilai sukses memimpin MK sampai akhir masa jabatannya tanpa terlibat kasus pelanggaran hukum apapun meski Mahfud berasal dari partai politik.
"Pak Mahfud MD juga kan Ketua MK yang berasal dari partai, yaitu PKB. Akan tetapi, beliau bisa memegang amanah sampai akhir masa jabatannya. Jadi, itu semua tergantung individu masing-masing," katanya.
Terkait wacana untuk mengeluarkan para hakim konstitusi sekarang yang sedang menjabat guna membersihkan MK sebagai lembaga hukum, Melani berpendapat hal tersebut tidak perlu dilakukan karena hanya akan menyulitkan MK menjalankan fungsinya.
"Kalau untuk mengeluarkan para hakim konstitusi yang sekarang untuk membersihkan MK, saya rasa tidak usah karena hal itu akan menghambat kinerja MK," tuturnya.
Wakil Ketua MPR itu justru menyarankan agar segera mencari satu hakim konstitusi baru untuk melengkapi jumlah hakim konstitusi di MK dan menentukan Ketua MK baru pengganti Akil Mochtar.
"Saya rasa karena harus berjumlah sembilan maka hanya perlu dipilih satu orang baru lagi untuk melengkapi jumlah mereka. Kemudian, mereka berembuk lagi untuk mencari pengganti Akil Mochtar," katanya.
Pada kesempatan itu, ia juga berharap agar kejadian pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum tidak terulang lagi.
"Mudah-mudahan kejadian penangkapan Ketua MK ini menjadi peringatan bagi tujuh lembaga hukum lainnya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat," ucap Melani.
Sebelumnya, KPK menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di kediamannya di kompleks perumahan menteri, Jalan Widya Chandra III No 7, Jakarta Selatan. Penangkapan tersebut diduga terkait suap untuk kasus Pilkada di Kabupaten Gung Mas, Kalimantan Tengah.
"Ini terkait Pilkada di sebuah kabupaten di Kalimantan Tengah ," kata salah seorang penyidik KPK.
Selain Akil Mochtar dan seorang perempuan yang diperkirakan anggota DPR Chairun Nisa, KPK juga menangkap seorang panitera pengganti berinisial KH dan dua orang lainnya.
Sang Panitera berinisial KH itu bertugas sebagai perantara penyerahan uang dari CN ke Akil Mochtar.
Lima orang itu ditangkap KPK di dua tempat, yaitu di rumah dinas di kompleks menteri Jl. Widya Chandra dan sebuah tempat di Jakarta Barat. Hingga saat ini lima orang yang ditangkap itu masih diperiksa di gedung KPK.