Jumat 04 Oct 2013 13:09 WIB

Ketua MK Ditangkap KPK, PBNU: Harus Dihukum Lebih Berat

Rep: Indah Wulandari/ Red: Heri Ruslan
 Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar usai sidang pleno khusus pengucapan sumpah jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/8). (Republika/Adhi Wicaksono)
Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar usai sidang pleno khusus pengucapan sumpah jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/8). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, menyampaikan keprihatinan mendalam atas ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Untuk memberikan efek jera, khususnya kepada pelanggaran serupa oleh aparat penegak hukum, NU mendorong diberikannya hukuman lebih berat.

 

“Mendengar kabar (penangkapan) itu saya terperanjat, sekaligus kecewa dan sedih. Seorang pentolan dalam penegakan hukum tertangkap tangan melakukan pelanggaran hukum,” kata Kiai Said, Jumat (4/10).

 

Kiai Said menambahkan, penangkapan Akil Mochtar bukan sekedar tamparan bagi bangsa Indonesia, melainkan kejadian memalukan di tengah upaya penegakan hukum yang hasilnya masih jauh dari kata sempurna. “Jika Ketua MK saja sudah melanggar hukum, apalagi yang bukan ketua. Logikanya kan begitu,” tambahnya.

 

Penangkapan Akil Mochtar juga disebut semakin memperburuk situasi krisis panutan bagi rakyat Indonesia.

 

“Bangsa ini sedang mengalami krisis qudwah hasanah, krisis contoh baik bagi rakyat kecil,” tandas Kiai Said.

 

Untuk mengembalikan citra positif bangsa Indonesia, khususnya dalam upaya penegakan hukum, PBNU mendorong diberikannya hukuman lebih kepada aparat penegak hukum yang justru menyalahgunakan kewenangannya, termasuk Akil Mochtar.

 

Sesuai dengan rekomendasi Musyawarah Nasonal dan Konferensi Besar Alim Ulama yang diselenggarakan PBNU di Cirebon pada September 2012 lalu, hukuman untuk pelanggar hukum, dalam hal ini korupsi, diklasifikasi menjadi dua. Pertama adalah yang membangkrutkan, dan kedua adalah yang merugikan negara.

 

“Yang membangkrutkan layak dihukum mati, dan yang merugikan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Tapi meskipun hanya merugikan, jika itu aparat penegak hukum harus ada hukuman lebih berat. Tidak hanya Pak Akil, tapi juga jaksa, polisi, hakim, dan lain sebagainya, jika memang aparat dan melanggar hukum harus dihukum lebih berat,” pungkas Kiai Said.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement