REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Saldi Isra mencoba menganalisis faktor yang membuat Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar ditangkap KPK karena terlibat kasus suap.
"Ini kejadian pertama. Menurut saya, ini lebih kepada kelemahan manajemen di lembaga itu. Anda bisa melihat, di sana itu panel satu, dua, tiga, sifatnya permanen. Mestinya panel itu tidak boleh permanen. Harus dibuat bergulir terus. Pasangan ini a, b, c. Pada giliran berikutnya harus berubah menjadi b,c,d, misalnya. Karena dengan panel permanen, itu mudah diidentifikasi orang," papar Saldi saat berbincang dengan ROL.
Kemudian, kata Saldi, tidak ada upaya untuk mencegah 'conflict of interest'. Karena ada hakim konstitusi yang bekas dari partai politik menangani perkara yang menyangkut partai itu. "Bisa ada satu, dua anggota majelis yang berasal dari partai itu. Seharusnya, hakim yang seperti itu mengundurkan diri dan diberikan kepada hakim konstitusi lain," tutur Saldi.
Pria kelahiran Paninggahan, Solok, Sumatera Barat, 20 Agustus 1968 silam ini mengatakan, Akil kerap memegang kasus yang terkait politikus Partai Golkar. Padahal, Akil pernah aktif di partai berlambang pohon beringin tersebut.
"Misalnya, sengketa Pemilukada. Meskipun memang tidak semua dikabulkan. Akan tetapi, hal itu bisa membuat orang tidak nyaman. Seharusnya hal ini bisa diantisipasi sebelumnya," sebut Saldi.
Lebih jauh Saldi menjelaskan, konflik kepentingan lainnya misalnya ada hakim konstitusi yang berasal dari provinsi tertentu. Kemudian hakim itu menangani sengketa yang berasal dari provinsinya.
"Seharusnya dia tidak boleh memegang perkara itu. Apalagi jika berasal dari kabupaten yang sama. Jadi saya harap, ke depan itu ada perombakan terkait panel hakim," sebut pria 45 tahun ini.